Admin ingin membahas tentang sumber kerugian Rumah Sakit karena ketimpangan Tarif Layanan dan Biaya Unit Cost Alat Medis Teknologi Tinggi dan Canggih. Akibatnya, setiap tindakan yang menggunakan alat berteknologi tinggi justru menjadi sumber kerugian, bukan pendapatan.
Di tengah upaya pemerintah memperluas akses pelayanan kesehatan berkualitas melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), muncul satu persoalan yang tak kunjung mendapat perhatian serius: ketimpangan antara tarif layanan yang dibayar oleh BPJS Kesehatan dengan realita biaya investasi dan pemeliharaan alat kesehatan berteknologi tinggi di rumah sakit.
Alat-alat canggih seperti CT Scan, MRI, ventilator, Cathlab, hingga alat laparoskopi bukan hanya simbol kemajuan, tetapi kebutuhan dasar pelayanan medis modern. Namun, hingga kini, struktur tarif layanan (termasuk INA-CBGs) yang dibayarkan kepada rumah sakit nyaris tidak mengakomodasi biaya investasi alat, biaya perawatan berkala, dan kalibrasi. Yang dihitung hanya biaya operasional langsung: tenaga jasa operator dan bahan habis pakai.
Akibatnya, banyak rumah sakit, terutama RSUD terjebak dalam situasi di mana alat mahal dibeli dengan dana pusat atau daerah, tapi tidak mampu dirawat atau dimaksimalkan penggunaannya karena ketiadaan dana untuk pemeliharaan. Rumah sakit tidak siap secara finansial saat alat mengalami kerusakan, butuh pemeliharaan, atau ada part alat yang berkala harus diganti. Ini bukan hanya pemborosan aset negara, tapi bentuk kegagalan sistemik dalam pengelolaan layanan publik.
Lebih lanjut, beban keuangan RS kian berat karena sebagian besar pasien adalah peserta BPJS, yang tarif layanannya bersifat flat dan tidak mempertimbangkan kompleksitas kasus maupun biaya teknologi yang digunakan. RS yang justru menggunakan alat canggih untuk pelayanan yang lebih baik, berisiko mengalami kerugian lebih besar.
Ketidaksesuaian antara biaya riil dan tarif layanan terhadap penggunaan alat medis berteknologi tinggi adalah masalah struktural yang berpotensi merusak fondasi pelayanan kesehatan nasional. Tanpa reformasi pembiayaan yang mencakup biaya investasi dan pemeliharaan alat, ketersediaan pelayanan berkualitas tinggi akan terus menurun, terutama di RSUD. Intervensi kebijakan menyeluruh dan berbasis data menjadi sangat mendesak.
Dalam jangka panjang, ketimpangan ini bisa menimbulkan efek domino:
-
Alat tidak dapat digunakan (idle), menyebabkan antrian panjang atau rujukan keluar daerah.
-
Kualitas layanan menurun.
-
RS terjebak dalam utang dan defisit berulang.
-
Kepercayaan masyarakat terhadap layanan publik melemah.
RUMUS UNIT COST
Unit Cost = Biaya Investasi + Biaya Operasional + Biaya Pemeliharaan
Biaya Investasi terdiri dari :
- Nilai depresiasi alat, nilai alat / umur manfaat
- Nilai depresiasi gedung bangunan
- Nilai depresiasi utilitas penunjang sarana (UPS, Mesin Pendingin, dll)
Biaya Operasional langsung (Overhead) terdiri dari :
- Jasa Tenaga Medis (Operator Dokter, Perawat) gaji orang per tindakan
- Jasa Teknisi Elektromedis yang melakukan pemeliharaan Internal, Daily Maintenance, Pemantauan Internal, Pemeliharaan Internal
- Biaya Bahan Habis Pakai
- Biaya Listrik per tindakan pasien, daya alat x waktu tindakan layanan
- Administrasi, billing, SIMRS, dll
Biaya Pemeliharaan terdiri dari :
- Biaya Kontrak Service Berkala, termasuk part
- Biaya Penggantian Sparepart Komponen Berkala Pemeliharaan
- Biaya General Cek Up, Kalibrasi alat, dan Sertifikasi Tenaga Ahli
- Biaya Pemeliharaan Utilitas Pendukung, misal UPS penggantian battery dan pemeliharaan mesin pendingin
Dengan penghitungan Unit Cost yang akurat, manajemen rumah sakit dapat mengetahui secara jelas margin keuntungan atau kerugian dari setiap layanan, termasuk layanan yang menggunakan alat medis berteknologi tinggi seperti CT-Scan, MRI, ventilator ICU, USG Echo, USG 4D, Cathlab dan lainnya.
Unit cost adalah alat kontrol manajerial yang vital untuk mengukur margin keuntungan atau kerugian pada layanan alat medis teknologi tinggi. Tanpa data unit cost, rumah sakit seperti berjalan dengan mata tertutup terhadap risiko finansialnya sendiri.
Manfaat Penghitungan Unit Cost dalam Analisis Tarif Layanan Alat Medis Teknologi Tinggi
1. Mengetahui Struktur Biaya Riil (Real Cost per Unit)
Penghitungan unit cost memungkinkan rumah sakit untuk:
-
Mengidentifikasi seluruh komponen biaya yang terlibat dalam suatu tindakan medis.
-
Memisahkan biaya tetap (fixed) dan biaya variabel (variable) per layanan.
-
Menghitung cost per use atas alat mahal melalui depresiasi dan pemeliharaan.
Contoh:
Jika 1 tindakan CT-Scan membutuhkan biaya Rp 1.200.000 secara riil (berdasarkan template sebelumnya), dan tarif BPJS hanya membayar Rp 900.000, maka RS rugi Rp 300.000 per tindakan.
2. Menghitung Margin Untung/Rugi
Dengan mengetahui unit cost dan tarif yang diterapkan, RS dapat menghitung, RS bisa mengevaluasi, Layanan mana yang untung, mana yang subsidi silang, dan mana yang perlu ditinjau ulang.
3. Alat Pengambilan Keputusan Strategis
Dengan unit cost, manajemen dapat:
-
Menyesuaikan tarif layanan umum (non-BPJS) secara rasional.
-
Menentukan prioritas investasi alat baru berdasarkan potensi cost recovery.
-
Menyusun proposal top-up tarif ke pemerintah daerah untuk layanan merugi.
Menyusun strategi subsidi silang antar layanan.
4. Advokasi Tarif ke BPJS atau Pemerintah
Jika RS memiliki data unit cost yang terstruktur dan terdokumentasi, data ini bisa digunakan untuk:
-
Mengajukan revisi tarif INA-CBGs ke BPJS Kesehatan.
-
Meminta dukungan dana APBD/APBN untuk menutup biaya pemeliharaan alat.
Mendorong revisi kebijakan tarif layanan teknologi tinggi di RS pemerintah.
5. Transparansi & Akuntabilitas
-
Menunjukkan ke pemangku kebijakan (Dinkes, DPRD, BPJS) bahwa kerugian layanan bukan akibat inefisiensi, tapi karena tarif tidak mencerminkan real cost.
-
Memperkuat posisi RS dalam audit BPK, KARS, maupun perencanaan strategis 5 tahunan