Belum lama ini saya menerima pasien yang datang dengan keluhan nyeri
perut yang tidak kunjung hilang sejak semalam sebelumnya. Pasien mulai
mengeluhkan nyeri ulu hati sejak pukul 10 malam, karena memang punya
sakit maag, beliau menduga sakitnya ini karena maag-nya kambuh. Karena
sakitnya semakin berat, tembus ke punggung, ada keringat dingin, sekitar
jam 1 malam beliau akhirnya memutuskan mampir ke sebuah RS Pemberi
Pelayanan Kesehatan (PPK) Tingkat 3 di dekat rumahnya. Setiba disana,
dokter yang menangani hanya sebentar saja memeriksa lantas di beri
sejumlah obat maag dan pasien dipulangkan.
Karena keluhan tidak kunjung membaik, akhirnya pasien memutuskan kembali
datang ke RS keesokan harinya, kurang lebih 15 jam setelah timbulnya
nyeri. Ternyata setelah dilakukan pemeriksaan rekam jantung /
elektrokardiografi (EKG) ketahuanlah bahwa sang bapak mengalami serangan
jantung dengan sumbatan total arteri koroner. Dari gambaran EKG dan
hasil enzim jantung, jelaslah bahwa kerusakan sudah terjadi, sehingga
tindakan untuk berupaya menyelamatkan otot jantung sudah terlambat untuk
dilakukan. Pasien saya tangani konservatif dan alhamdullilah keadaannya
membaik.
Saya pribadi sudah beberapakali menemukan kasus serangan jantung dengan
keluhan nyeri ulu hati yang gagal terdiagnosis. Tapi umumnya hal itu
terjadi karena mereka datang ke klinik atau puskemas tanpa fasilitas EKG
sehingga keluhannya disangka gejala maag. Kali ini kasusnya gagal
terdiagnosis ketika pasien telah datang ke RS rujukan tingkat 3 yang
kita tahu memiliki fasilitas kesehatan serba lengkap sehingga saya
tertarik untuk menggali lebih dalam dimana permasalahannya. Menurut saya
Ini penting karena yang akan datang berobat ke PPK3 / RS rujukan ini
bisa jadi kita, bisa jadi keluarga kita, sehingga jika memang ada
masalah, kita seharusnya terdorong untuk memperbaikinya.
Untuk menjawab kenapa hal ini bisa terjadi saya tanyakan beberapa hal ke pasiennya.
- Berapa dokter yang menangani bapak? Jawabnya: Hanya satu saja dok.
- Keluhan bapak saat itu apa? Jawabnya: Hanya nyeri ulu hati saja dok. (Saya sudah tekan perutnya, ternyata memang iya nyeri saat ditekan)
- Tidak ada nyeri dada, sesak, mual, muntah atau keringat dingin? Jawabnya: Ada keluhan keringat dingin dan muntah.
- Apa disana dilakukan pemeriksaan EKG? Jawabnya: Tidak dok, dokternya hanya menanyakan beberapa hal, lantas meresepkan obat.
- Apa saat itu suasananya ramai? Jawabnya: Wah iya dok, seperti pasar malam. Saya sampai marah-marah karena merasa diabaikan.
- Apa dokternya tampak capai / kelelahan? Jawabnya: Iya dok, tidak lama setelah memeriksa saya dia kembali duduk ditempat kerjanya dan tertidur. (Pasien tampak marah ketika bercerita tentang pengalaman buruknya mampir ke RS PPK3 semalam)
Karena ini sakit yang dideritanya memang serangan jantung, dan pasien
harus tenang. Saya bilang sakit bapak tampaknya timbul berbarengan
dengan kambuhnya sakit maag. Sehingga gejala sakit jantung yang umumnya
timbul tidak muncul. Akibatnya dokternya tidak berpikiran bapak
mengalami serangan jantung.
Ada beberapa hal yang saya rasa patut dibahas.
- Siapa dokter menangani, apa sudah cukup berpengalaman untuk bisa menentukan ini kasus gawat darurat tanpa pemeriksaan lanjutan?
- Saat itu RS nya penuh seperti pasar malam, apa memang PPK3 selalu penuh, jika iya kenapa?
- Mengapa pelayanan di PPK3 seringkali dianggap buruk?
Dari pertanyaan saya, diketahui kalau yang menangani hanya 1 orang
dokter. Artinya pasien tidak dikonsulkan ke bagian lain karena dianggap
bukan kasus gawat darurat. Bisa disimpulkan yang pertama menangani saat
itu adalah dokter triase. Tugas jaga triase adalah memilah mana kasus
gawat darurat yang butuh penanganan segera dan kasus mana yang bukan.
Setelah diperiksa oleh dokter triase, pasien akan dikonsulkan sesuai
dugaan penyakitnya, entah itu ke bagian anak, penyakit dalam, bedah,
syaraf, dan lain sebagainya. Dokter triase di RS PPK3 yang saya maksud,
biasanya adalah dokter residen tahun pertama yang diminta/diwajibkan
untuk jaga triase di Instalasi Gawat Darurat. Dokter Residen adalah
dokter yang sedang bekerja sambil belajar menempuh pendidikan program
profesi dokter spesialis di RS PPK3.
Tahun pertama residensi biasanya adalah tahun terberat seorang residen.
Selain mereka harus adaptasi bekerja di RS yang baru, mereka juga harus
belajar banyak di program studi yang mereka dalami, tugas jaga mereka
juga biasanya paling banyak. Dalam sebulan, mereka bisa kebagian jaga
hingga 6-9x. Jam jaga dokter Residen bervariasi tergantung spesialisasi
yang mereka ambil, namun umumnya berkisar antara 30 s/d 36 jam. Tidur
saat jaga mungkin saja, tapi biasanya hanya beberapa jam dan seringkali
terpotong. Kurangnya tidur akibat jam kerja berlebih telah lama menjadi
kekhawatiran dalam dunia kedokteran. Saat ini jam kerja para tenaga
kesehatan pada umumnya jauh lebih panjang dibandingkan jam kerja yang
dapat ditolerir untuk mereka yang bekerja di bidang transportasi
(supir/pilot). Bagi orang awam, kerja lebih dari 100 bahkan 120 jam
dalam seminggu merupakan sesuatu yang mengerikan. Tapi hal ini merupakan
hal yang biasa bagi mereka.
Pertanyaan yang kemudian timbul, apakah ini aman untuk mereka? Apakah ini aman untuk pasien?
Kondisi seperti ini tidak jauh berbeda dengan di negara maju 30 tahun
yang lalu, hingga pada akhirnya seorang wanita muda bernama Libby Zion
meninggal karena salah pemberian obat ditangan dokter residen saat dia
bekerja nonstop selama 36 jam. Penyelidikan kematiannya mengakibatkan
lahirnya peraturan ditahun 1987 yang menyebutkan dokter residen di New
York tidak boleh bekerja lebih dari 80 jam/minggu dan boleh tidak lebih
dari 24 jam nonstop. Kini sudah banyak penelitian yang menemukan
hubungan antara kelelahan dan menurunnya kemampuan klinis dokter.
Penelitian lainnya menemukan bahwa dokter Residen cenderung mengalami
kecelakaan bermotor yang jauh lebih sering dibandingkan warga biasa.
Sehingga akhirnya dibanyak negara lahir undang-undang yang mengatur jam
kerja dokter residen. Di Amerika misalnya, seorang dokter residen tidak
boleh kerja lebih dari 80 jam/seminggu, tidak boleh bekerja 24 jam
nonstop tanpa istirahat, tidak boleh jaga berturut-turut dalam periode 3
hari, dsb. Penelitian Landrigan dkk yang diterbitkan tahun 2004
membuktikan bahwa pengurangan jam kerja yang timbul akibat aturan baru
tersebut dapat mengurangi tingkat kesalahan yang dilakukan para dokter.
Pengalaman yang masih kurang (mereka merupakan residen tahun pertama)
disertai kelelahan tentunya bukan kombinasi yang baik. Lebih parahnya
lagi jaga triase adalah jaga lintas bagian, tidak dipimpin oleh salah
satu bagian tertentu sehingga mereka jaga praktis tanpa supervisi dokter
senior. Akibatnya kasus seperti yang menimpa pasien saya ini bisa jadi
sering terjadi.
Pertanyaan kedua, Apa iya PPK3 selalu penuh? Mengapa?
Saat ini saya perhatikan iya. Dulu jumlah kasus yang ditangani di PPK3
tidak sebanyak sekarang. Pasien masih mungkin kebagian ruang rawat.
Sekarang kalau tidak “dirujuk paksa” (maksudnya dibawa sendiri oleh
keluarga) dan ditangani di IGD PPK3 pasien hampir tidak pernah kebagian
ruangan. Pasien yang mau datang berobat untuk rawat jalan pun harus mau
mengantri dari subuh agar bisa diperiksa dihari tersebut. Salah satu
faktor yang menurut saya turut memberikan kontribusi dalam meningkatnya
jumlah pasien di PPK3 adalah tingginya jumlah rujukan. Jumlah rujukan
yang tinggi ini ironisnya justru terjadi karena sistem Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) itu sendiri. Masalahnya terletak pada tarif antar kelas
RS dalam InaCBGs yang terlalu besar kesenjangannya.
Ambil contoh kasus penyebab kematian terbanyak saat ini, serangan
jantung atau infark miokard, di RS kelas A atau PPK3 tarifnya sekitar
6,5 s/d 16,8 juta tergantung tingkat keparahannya. Di RS kelas B,
tarifnya turun menjadi 5 s/d 11,4 juta. Sementara di RS kelas C,
tarifnya turun menjadi 4 s/d 6,76 juta dan di RS kelas D, tarifnya turun
menjadi 2,9 s/d 6,73 juta. Hal yang sama terjadi pula untuk banyak
kasus lainnya. Ambil kasus usus buntu, di RS kelas A tarifnya 4,8 s/d 9
juta sementara di RS kelas D tarifnya hanya 2,2 /sd 4,1 juta. Tarif PPK3
(RS Kelas A / RS nasional) dan PPK2 (RS Kelas B/C/D) bisa berbeda
hingga ½-nya. Bisa dilihat sendiri di Permenkes 69 tahun 2014.
Akibat-nya apa?
Hal yang paling nyata tentunya adalah perbedaan terapi yang diberikan.
Untuk kasus serangan jantung / infark miokard misalnya, jika ditangani
di PPK2 (kelas RS B/C/D) obat peluruh gumpalan darah / fibrinolitik yang
seharusnya diberikan hampir tidak pernah diberikan, alasannya
sederhana, tarifnya tidak mencukupi. Selain itu kemungkinan besar
pasiennya tidak akan dirawat di ruang intensif, alasannya tarifnya tidak
mencukupi.
Kemungkinan lainnya apa?
Adanya fraud atau pembatasan tindakan. Misal untuk kasus bedah usus
buntu tadi, apa cukup operasi usus buntu dikerjakan hanya dengan 2,2
juta rupiah? Tentunya tidak, kecuali dokternya “terpaksa” melakukan
fraud / menipu BPJS dengan menuliskan diagnosa tambahan (upcoding)
sehingga sakitnya seakan tambah parah dan tarifnya naik menjadi 4,1
juta. Alternatif yang kedua, pasien diminta nambah. Alternatif yang
ketiga, dan ini merupakan pilihan banyak dokter saat ini, membatasi
tindakan dan merujuk pasiennya ke PPK3.
Akibatnya pasien di PPK3 semakin membludak, ruangannya selalu penuh, dan
dokternya selalu kewalahan. Bisa dibayangkan bila seorang dokter saat
tugasnya harus menangani belasan bahkan puluhan pasien dalam semalam,
dalam kondisi kelelahan, tentu kerjanya tidak akan benar lagi.
Mengapa pelayanan di PPK3 seringkali dianggap buruk?
Menurut saya ini menarik untuk dicermati di negara maju RS pendidikan
tempat dokter residen bekerja pada umumnya adalah RS top dengan kualitas
layanan yang memuaskan. Tapi di Indonesia RS pendidikan umumnya adalah
RS dengan citra pelayanan yang buruk.
Apa yang salah?
Faktor kelelahan dan beban berlebih seperti diatas tentunya menjadi
faktor yang harus dipikirkan. Ketika anda memiliki banyak pasien yang
harus dikelola dan laporan yang harus beres diketik dipagi hari, anda
tidak punya cukup waktu untuk bisa tersenyum. Yang ada adalah rasa geram
dan frustasi karena pasien terus bertambah saat anda berharap bisa
tidur sebentar saja.
Itulah perasaan yang saya rasakan dulu ketika pasien terus menerus
datang saat badan sudah terlalu capai untuk digerakkan dan mata terlalu
berat untuk tetap dibuka. Ternyata selama 30 tahun terakhir telah banyak
yang menemukan suasana hati diperburuk oleh kelelahan. Orang yang lelah
cenderung lebih mudah cemas, depresi, marah, dan salah mengambil
keputusan.
Kelelahan salah satu penyebab pelayanan kesehatan buruk / dokumentasi dr.Erta Priadi Wirawijaya, Sp.JP |
Inilah yang saya rasa menjadi jawaban terbaik mengapa layanan di PPK3 seringkali dianggap buruk.
Faktor lainnya yang menurut saya penting untuk dibahas adalah faktor sumber daya manusia atau dokter residen dan perawat yang melayani di PPK3. Apakah mereka terdorong untuk memberikan pelayanan yang baik? Layanan kesehatan pada dasarnya adalah service industry
atau industri yang mengedepankan pelayanan. Agar kualitas layanan yang
diberikan memuaskan, pekerja yang memberikan layanan haruslah puas
dengan apa yang dikerjakannya dan upah yang diterimanya. Sudah banyak
penelitian yang menemukan kualitas layanan atau performa kerja
berbanding lurus dengan upah yang diterima. Seorang bilyuner kenamaan
Inggris Sir Richard Bronson berkata “The way you treat your employees is
the way they will treat your customers” yang artinya cara anda
memperlakukan karyawanmu adalah cara mereka memperlakukan pelangganmu.
Disinilah menurut saya letak perbedaan yang menjadikan RS pendidikan di
negara maju menjadi RS Top di negaranya sementara di Indonesia, menjadi
RS yang buruk kualitas layananannya.
Mereka memperlakukan dokternya secara pantas dan manusiawi sementara
kita tidak, kenapa tidak? Karena disini dokter residen tidak dibatasi
jam kerjanya, tidak dibayar, dan tidak mendapatkan jaminan kesehatan.
Kontras berbeda dengan apa yang terjadi, jangan jauh-jauh di malaysia
negara tetangga kita.
Seorang dokter dari Singapura pernah berkata “In singapore, you work you
get paid. In Indonesia, you work, you must pay.” Omongan beliau
menyentil sistem pendidikan spesialis di Indonesia yang “lain sendiri”
dan mengharuskan dokter residen untuk bayar uang bangunan, sumbangan
sukarela, dan SPP untuk menempuh pendidikan spesialis.
Sementara di negara lainnya di dunia dokter residen justru dibayar untuk
pekerjaan yang dilakukannya. Aturan ke arah sana di Indonesia
sebenarnya sudah ada. UU pendidikan kedokteran tahun 2013 sudah
mewajibkan wahana RS pendidikan untuk memberikan insentif untuk dokter
residen. Tapi banyak diantaranya tidak memberikan insentif tersebut, ada
yang memberikan tapi jumlahnya tidak seberapa, misal hanya Rp 100.000,-
bulan.
Rendahnya penghargaan untuk mereka tentunya berdampak terhadap kualitas
layanan yang diberikan. Orientasi mereka saat bekerja bukanlah pasien,
tapi bagaimana caranya agar jaga saya aman, laporan selesai, cukup
istirahatnya sehingga besok bisa kembali beraktivitas tanpa kendala.
Saran saya agar kejadian ini tidak terulang antara lain:
- Sebaiknya dokter triase yang bekerja di RS PPK3 adalah dokter residen senior yang tahu apa yang dilakukannya. Sebaiknya karena kerjanya tersebut dokter tersebut dibayar.
- Untuk menghidari berjubelnya pasien dan dokternya kewalahan, sebaiknya tarif InaCBGs diperbaiki secepatnya. Hapus perbedaan tarif yang jomplang antar kelas RS sehingga lebih banyak pasien yang bisa ditangani di PPK2 dengan semestinya tanpa harus dirujuk atau terapinya menyesuaikan dengan keterbatasan tarif seperti apa yang selama ini terjadi.
- Untuk memperbaiki kualitas layanan tolong diperhatikan kesejahteraan dokter residen. Batasi jam kerja mereka sehingga mereka bisa bekerja lebih baik, berikan mereka upah yang layak sehingga mereka bisa tersenyum saat melayani pasien. Hal itu hanya akan mungkin terlaksana jika sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia meniru sistem pendidikan hospital based seperti negara lainnya di dunia.
Jika hal tersebut terjadi, saya yakin kebutuhan dokter spesialis di
Indonesia bisa terpenuhi dalam beberapa dekade ke depan.
Itulah menurut saya apa yang ada dibalik buruknya layanan di PPK3.
Apakah anda harus perduli untuk merubah keadaan ini? Ya karena setiap
orang yang hidup pada akhirnya pasti akan bersinggungan dengan layanan
kesehatan.
Mohon share-nya jika anda peduli untuk memperbaikinya. (Penulis Dr. Erta Priadi Wirawijaya Sp.JP)
0 komentar :
Post a Comment