Home » , » Mengapa Pelayanan Rumah Sakit Kerjasama BPJS Buruk? Ini Penjelasan Dr. Erta Priadi Wirawijaya Sp.JP

Mengapa Pelayanan Rumah Sakit Kerjasama BPJS Buruk? Ini Penjelasan Dr. Erta Priadi Wirawijaya Sp.JP

 
 
Belum lama ini saya menerima pasien yang datang dengan keluhan nyeri perut yang tidak kunjung hilang sejak semalam sebelumnya. Pasien mulai mengeluhkan nyeri ulu hati sejak pukul 10 malam, karena memang punya sakit maag, beliau menduga sakitnya ini karena maag-nya kambuh. Karena sakitnya semakin berat, tembus ke punggung, ada keringat dingin, sekitar jam 1 malam beliau akhirnya memutuskan mampir ke sebuah RS Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) Tingkat 3 di dekat rumahnya. Setiba disana, dokter yang menangani hanya sebentar saja memeriksa lantas di beri sejumlah obat maag dan pasien dipulangkan. 
Karena keluhan tidak kunjung membaik, akhirnya pasien memutuskan kembali datang ke RS keesokan harinya, kurang lebih 15 jam setelah timbulnya nyeri. Ternyata setelah dilakukan pemeriksaan rekam jantung / elektrokardiografi (EKG) ketahuanlah bahwa sang bapak mengalami serangan jantung dengan sumbatan total arteri koroner. Dari gambaran EKG dan hasil enzim jantung, jelaslah bahwa kerusakan sudah terjadi, sehingga tindakan untuk berupaya menyelamatkan otot jantung sudah terlambat untuk dilakukan. Pasien saya tangani konservatif dan alhamdullilah keadaannya membaik. 
Saya pribadi sudah beberapakali menemukan kasus serangan jantung dengan keluhan nyeri ulu hati yang gagal terdiagnosis. Tapi umumnya hal itu terjadi karena mereka datang ke klinik atau puskemas tanpa fasilitas EKG sehingga keluhannya disangka gejala maag. Kali ini kasusnya gagal terdiagnosis ketika pasien telah datang ke RS rujukan tingkat 3 yang kita tahu memiliki fasilitas kesehatan serba lengkap sehingga saya tertarik untuk menggali lebih dalam dimana permasalahannya. Menurut saya Ini penting karena yang akan datang berobat ke PPK3 / RS rujukan ini bisa jadi kita, bisa jadi keluarga kita, sehingga jika memang ada masalah, kita seharusnya terdorong untuk memperbaikinya. 
Untuk menjawab kenapa hal ini bisa terjadi saya tanyakan beberapa hal ke pasiennya. 
  • Berapa dokter yang menangani bapak? Jawabnya: Hanya satu saja dok. 
  • Keluhan bapak saat itu apa? Jawabnya: Hanya nyeri ulu hati saja dok. (Saya sudah tekan perutnya, ternyata memang iya nyeri saat ditekan)
  • Tidak ada nyeri dada, sesak, mual, muntah atau keringat dingin? Jawabnya: Ada keluhan keringat dingin dan muntah.
  • Apa disana dilakukan pemeriksaan EKG? Jawabnya: Tidak dok, dokternya hanya menanyakan beberapa hal, lantas meresepkan obat.
  • Apa saat itu suasananya ramai? Jawabnya: Wah iya dok, seperti pasar malam. Saya sampai marah-marah karena merasa diabaikan.
  • Apa dokternya tampak capai / kelelahan? Jawabnya: Iya dok, tidak lama setelah memeriksa saya dia kembali duduk ditempat kerjanya dan tertidur. (Pasien tampak marah ketika bercerita tentang pengalaman buruknya mampir ke RS PPK3 semalam) 
Karena ini sakit yang dideritanya memang serangan jantung, dan pasien harus tenang. Saya bilang sakit bapak tampaknya timbul berbarengan dengan kambuhnya sakit maag. Sehingga gejala sakit jantung yang umumnya timbul tidak muncul. Akibatnya dokternya tidak berpikiran bapak mengalami serangan jantung. Ada beberapa hal yang saya rasa patut dibahas.

  1. Siapa dokter menangani, apa sudah cukup berpengalaman untuk bisa menentukan ini kasus gawat darurat tanpa pemeriksaan lanjutan?
  2. Saat itu RS nya penuh seperti pasar malam, apa memang PPK3 selalu penuh, jika iya kenapa?
  3. Mengapa pelayanan di PPK3 seringkali dianggap buruk? 
Pertanyaan pertama, Siapa dokter yang menangani? 
Dari pertanyaan saya, diketahui kalau yang menangani hanya 1 orang dokter. Artinya pasien tidak dikonsulkan ke bagian lain karena dianggap bukan kasus gawat darurat. Bisa disimpulkan yang pertama menangani saat itu adalah dokter triase. Tugas jaga triase adalah memilah mana kasus gawat darurat yang butuh penanganan segera dan kasus mana yang bukan. Setelah diperiksa oleh dokter triase, pasien akan dikonsulkan sesuai dugaan penyakitnya, entah itu ke bagian anak, penyakit dalam, bedah, syaraf, dan lain sebagainya. Dokter triase di RS PPK3 yang saya maksud, biasanya adalah dokter residen tahun pertama yang diminta/diwajibkan untuk jaga triase di Instalasi Gawat Darurat. Dokter Residen adalah dokter yang sedang bekerja sambil belajar menempuh pendidikan program profesi dokter spesialis di RS PPK3. 
Tahun pertama residensi biasanya adalah tahun terberat seorang residen. Selain mereka harus adaptasi bekerja di RS yang baru, mereka juga harus belajar banyak di program studi yang mereka dalami, tugas jaga mereka juga biasanya paling banyak. Dalam sebulan, mereka bisa kebagian jaga hingga 6-9x. Jam jaga dokter Residen bervariasi tergantung spesialisasi yang mereka ambil, namun umumnya berkisar antara 30 s/d 36 jam. Tidur saat jaga mungkin saja, tapi biasanya hanya beberapa jam dan seringkali terpotong. Kurangnya tidur akibat jam kerja berlebih telah lama menjadi kekhawatiran dalam dunia kedokteran. Saat ini jam kerja para tenaga kesehatan pada umumnya jauh lebih panjang dibandingkan jam kerja yang dapat ditolerir untuk mereka yang bekerja di bidang transportasi (supir/pilot). Bagi orang awam, kerja lebih dari 100 bahkan 120 jam dalam seminggu merupakan sesuatu yang mengerikan. Tapi hal ini merupakan hal yang biasa bagi mereka. 
Pertanyaan yang kemudian timbul, apakah ini aman untuk mereka? Apakah ini aman untuk pasien? 
Kondisi seperti ini tidak jauh berbeda dengan di negara maju 30 tahun yang lalu, hingga pada akhirnya seorang wanita muda bernama Libby Zion meninggal karena salah pemberian obat ditangan dokter residen saat dia bekerja nonstop selama 36 jam. Penyelidikan kematiannya mengakibatkan lahirnya peraturan ditahun 1987 yang menyebutkan dokter residen di New York tidak boleh bekerja lebih dari 80 jam/minggu dan boleh tidak lebih dari 24 jam nonstop. Kini sudah banyak penelitian yang menemukan hubungan antara kelelahan dan menurunnya kemampuan klinis dokter. Penelitian lainnya menemukan bahwa dokter Residen cenderung mengalami kecelakaan bermotor yang jauh lebih sering dibandingkan warga biasa. Sehingga akhirnya dibanyak negara lahir undang-undang yang mengatur jam kerja dokter residen. Di Amerika misalnya, seorang dokter residen tidak boleh kerja lebih dari 80 jam/seminggu, tidak boleh bekerja 24 jam nonstop tanpa istirahat, tidak boleh jaga berturut-turut dalam periode 3 hari, dsb. Penelitian Landrigan dkk yang diterbitkan tahun 2004 membuktikan bahwa pengurangan jam kerja yang timbul akibat aturan baru tersebut dapat mengurangi tingkat kesalahan yang dilakukan para dokter. 
Pengalaman yang masih kurang (mereka merupakan residen tahun pertama) disertai kelelahan tentunya bukan kombinasi yang baik. Lebih parahnya lagi jaga triase adalah jaga lintas bagian, tidak dipimpin oleh salah satu bagian tertentu sehingga mereka jaga praktis tanpa supervisi dokter senior. Akibatnya kasus seperti yang menimpa pasien saya ini bisa jadi sering terjadi.
Pertanyaan kedua, Apa iya PPK3 selalu penuh? Mengapa? 
Saat ini saya perhatikan iya. Dulu jumlah kasus yang ditangani di PPK3 tidak sebanyak sekarang. Pasien masih mungkin kebagian ruang rawat. Sekarang kalau tidak “dirujuk paksa” (maksudnya dibawa sendiri oleh keluarga) dan ditangani di IGD PPK3 pasien hampir tidak pernah kebagian ruangan. Pasien yang mau datang berobat untuk rawat jalan pun harus mau mengantri dari subuh agar bisa diperiksa dihari tersebut. Salah satu faktor yang menurut saya turut memberikan kontribusi dalam meningkatnya jumlah pasien di PPK3 adalah tingginya jumlah rujukan. Jumlah rujukan yang tinggi ini ironisnya justru terjadi karena sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) itu sendiri. Masalahnya terletak pada tarif antar kelas RS dalam InaCBGs yang terlalu besar kesenjangannya. 
Ambil contoh kasus penyebab kematian terbanyak saat ini, serangan jantung atau infark miokard, di RS kelas A atau PPK3 tarifnya sekitar 6,5 s/d 16,8 juta tergantung tingkat keparahannya. Di RS kelas B, tarifnya turun menjadi 5 s/d 11,4 juta. Sementara di RS kelas C, tarifnya turun menjadi 4 s/d 6,76 juta dan di RS kelas D, tarifnya turun menjadi 2,9 s/d 6,73 juta. Hal yang sama terjadi pula untuk banyak kasus lainnya. Ambil kasus usus buntu, di RS kelas A tarifnya 4,8 s/d 9 juta sementara di RS kelas D tarifnya hanya 2,2 /sd 4,1 juta. Tarif PPK3 (RS Kelas A / RS nasional) dan PPK2 (RS Kelas B/C/D) bisa berbeda hingga ½-nya. Bisa dilihat sendiri di Permenkes 69 tahun 2014. 
Akibat-nya apa? 
Hal yang paling nyata tentunya adalah perbedaan terapi yang diberikan. Untuk kasus serangan jantung / infark miokard misalnya, jika ditangani di PPK2 (kelas RS B/C/D) obat peluruh gumpalan darah / fibrinolitik yang seharusnya diberikan hampir tidak pernah diberikan, alasannya sederhana, tarifnya tidak mencukupi. Selain itu kemungkinan besar pasiennya tidak akan dirawat di ruang intensif, alasannya tarifnya tidak mencukupi. 
Kemungkinan lainnya apa? 
Adanya fraud atau pembatasan tindakan. Misal untuk kasus bedah usus buntu tadi, apa cukup operasi usus buntu dikerjakan hanya dengan 2,2 juta rupiah? Tentunya tidak, kecuali dokternya “terpaksa” melakukan fraud / menipu BPJS dengan menuliskan diagnosa tambahan (upcoding) sehingga sakitnya seakan tambah parah dan tarifnya naik menjadi 4,1 juta. Alternatif yang kedua, pasien diminta nambah. Alternatif yang ketiga, dan ini merupakan pilihan banyak dokter saat ini, membatasi tindakan dan merujuk pasiennya ke PPK3. 
Akibatnya pasien di PPK3 semakin membludak, ruangannya selalu penuh, dan dokternya selalu kewalahan. Bisa dibayangkan bila seorang dokter saat tugasnya harus menangani belasan bahkan puluhan pasien dalam semalam, dalam kondisi kelelahan, tentu kerjanya tidak akan benar lagi. 
Mengapa pelayanan di PPK3 seringkali dianggap buruk? 
Menurut saya ini menarik untuk dicermati di negara maju RS pendidikan tempat dokter residen bekerja pada umumnya adalah RS top dengan kualitas layanan yang memuaskan. Tapi di Indonesia RS pendidikan umumnya adalah RS dengan citra pelayanan yang buruk. 
Apa yang salah? Faktor kelelahan dan beban berlebih seperti diatas tentunya menjadi faktor yang harus dipikirkan. Ketika anda memiliki banyak pasien yang harus dikelola dan laporan yang harus beres diketik dipagi hari, anda tidak punya cukup waktu untuk bisa tersenyum. Yang ada adalah rasa geram dan frustasi karena pasien terus bertambah saat anda berharap bisa tidur sebentar saja. 
Itulah perasaan yang saya rasakan dulu ketika pasien terus menerus datang saat badan sudah terlalu capai untuk digerakkan dan mata terlalu berat untuk tetap dibuka. Ternyata selama 30 tahun terakhir telah banyak yang menemukan suasana hati diperburuk oleh kelelahan. Orang yang lelah cenderung lebih mudah cemas, depresi, marah, dan salah mengambil keputusan. 


Kelelahan salah satu penyebab pelayanan kesehatan buruk / dokumentasi dr.Erta Priadi Wirawijaya, Sp.JP
Inilah yang saya rasa menjadi jawaban terbaik mengapa layanan di PPK3 seringkali dianggap buruk. Faktor lainnya yang menurut saya penting untuk dibahas adalah faktor sumber daya manusia atau dokter residen dan perawat yang melayani di PPK3. Apakah mereka terdorong untuk memberikan pelayanan yang baik? Layanan kesehatan pada dasarnya adalah service industry atau industri yang mengedepankan pelayanan. Agar kualitas layanan yang diberikan memuaskan, pekerja yang memberikan layanan haruslah puas dengan apa yang dikerjakannya dan upah yang diterimanya. Sudah banyak penelitian yang menemukan kualitas layanan atau performa kerja berbanding lurus dengan upah yang diterima. Seorang bilyuner kenamaan Inggris Sir Richard Bronson berkata “The way you treat your employees is the way they will treat your customers” yang artinya cara anda memperlakukan karyawanmu adalah cara mereka memperlakukan pelangganmu. Disinilah menurut saya letak perbedaan yang menjadikan RS pendidikan di negara maju menjadi RS Top di negaranya sementara di Indonesia, menjadi RS yang buruk kualitas layananannya. 
Mereka memperlakukan dokternya secara pantas dan manusiawi sementara kita tidak, kenapa tidak? Karena disini dokter residen tidak dibatasi jam kerjanya, tidak dibayar, dan tidak mendapatkan jaminan kesehatan. Kontras berbeda dengan apa yang terjadi, jangan jauh-jauh di malaysia negara tetangga kita. Seorang dokter dari Singapura pernah berkata “In singapore, you work you get paid. In Indonesia, you work, you must pay.” Omongan beliau menyentil sistem pendidikan spesialis di Indonesia yang “lain sendiri” dan mengharuskan dokter residen untuk bayar uang bangunan, sumbangan sukarela, dan SPP untuk menempuh pendidikan spesialis. 
Sementara di negara lainnya di dunia dokter residen justru dibayar untuk pekerjaan yang dilakukannya. Aturan ke arah sana di Indonesia sebenarnya sudah ada. UU pendidikan kedokteran tahun 2013 sudah mewajibkan wahana RS pendidikan untuk memberikan insentif untuk dokter residen. Tapi banyak diantaranya tidak memberikan insentif tersebut, ada yang memberikan tapi jumlahnya tidak seberapa, misal hanya Rp 100.000,- bulan. 
Rendahnya penghargaan untuk mereka tentunya berdampak terhadap kualitas layanan yang diberikan. Orientasi mereka saat bekerja bukanlah pasien, tapi bagaimana caranya agar jaga saya aman, laporan selesai, cukup istirahatnya sehingga besok bisa kembali beraktivitas tanpa kendala. Saran saya agar kejadian ini tidak terulang antara lain: 
  1. Sebaiknya dokter triase yang bekerja di RS PPK3 adalah dokter residen senior yang tahu apa yang dilakukannya. Sebaiknya karena kerjanya tersebut dokter tersebut dibayar. 
  2. Untuk menghidari berjubelnya pasien dan dokternya kewalahan, sebaiknya tarif InaCBGs diperbaiki secepatnya. Hapus perbedaan tarif yang jomplang antar kelas RS sehingga lebih banyak pasien yang bisa ditangani di PPK2 dengan semestinya tanpa harus dirujuk atau terapinya menyesuaikan dengan keterbatasan tarif seperti apa yang selama ini terjadi.
  3. Untuk memperbaiki kualitas layanan tolong diperhatikan kesejahteraan dokter residen. Batasi jam kerja mereka sehingga mereka bisa bekerja lebih baik, berikan mereka upah yang layak sehingga mereka bisa tersenyum saat melayani pasien. Hal itu hanya akan mungkin terlaksana jika sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia meniru sistem pendidikan hospital based seperti negara lainnya di dunia. 
Jika hal tersebut terjadi, saya yakin kebutuhan dokter spesialis di Indonesia bisa terpenuhi dalam beberapa dekade ke depan. Itulah menurut saya apa yang ada dibalik buruknya layanan di PPK3. Apakah anda harus perduli untuk merubah keadaan ini? Ya karena setiap orang yang hidup pada akhirnya pasti akan bersinggungan dengan layanan kesehatan. Mohon share-nya jika anda peduli untuk memperbaikinya. (Penulis  Dr. Erta Priadi Wirawijaya Sp.JP)
 

0 komentar :

Artikel Rekomendasi

Bagaimana untuk Mengelola "How To Manage" Series untuk Teknologi Kesehatan

WHO Teknologi kesehatan dan manajemen teknologi kesehatan telah menjadi isu kebijakan yang semakin terlihat. Sementara kebutuh...

Popular Post

Recomended

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner