Home » » MENINGKATKAN DAYA SAING ALAT KESEHATAN INDONESIA

MENINGKATKAN DAYA SAING ALAT KESEHATAN INDONESIA

Kiat Sukses Memasarkan Alat Kesehatan

Oleh : Sudarmadi

Pasar alat kesehatan cukup menjanjikan untuk digarap. Namun, butuh pendekatan dan kiat khusus dalam memasarkan produk berharga mahal ini. Caranya?

Memasarkan produk alat kesehatan jelas butuh cara tersendiri dan berbeda dari cara pemasaran produk yang massal seperti fast moving consumer goods (FMCG). Maklum, karakteristik produk dan target pasarnya berbeda. Dari sisi target pasar misalnya, kebanyakan produk alat kesehatan menyasar segmen institusi atau pasar business to business (B2B). Kemudian, biasanya tingkat pendidikan pelanggan yang disasar juga lebih tinggi – pengelola rumah sakit dan laboratorium ataukah para dokternya. Karena itu, butuh pendekatan pemasaran yang khusus.

Selama ini, produsen alat kesehatan di Indonesia umumnya tak bekerja sendirian dalam menggarap pasar. Mereka menggandeng para mitra penjualan, baik distributor, agen maupun dealer. Pasarnya begitu kompleks. Jika produsen harus mengurusi manufakturing (termasuk riset dan pengembangan/R&D) dan pemasaran sendirian, dikhawatirkan malah kelabakan dan perusahaan tak kunjung membesar. Apalagi, kenyataannya di Indonesia cukup banyak perusahaan distributor yang profesional, berpengalaman dan skala bisnisnya sudah besar, misalnya PT Graha Ismaya, PT Andini Sarana, PT Sari Murti, PT Putria Pratama, dan sederet nama lainnya.

Bila diamati, kebanyakan produsen alat kesehatan yang sukses memang melakukan sinergi dengan mitra-mitranya. Jadi tak menggarap pasar sendirian. PT Abadinusa Usahasemesta, misalnya, seperti dijelaskan Ade Tarya Hidayat, CEO perusahaan ini, untuk bisa sukses dalam memasarkan produk alat kesehatan, pihaknya menggunakan agen penjualan dan distributor. Untuk produk tensimeter, ia menggandeng PT Rajawali Nusindo (Grup RNI) yang memiliki banyak cabang di Indonesia. Cara itu cukup efektif. Kini Abadinusa sukses di pasar domestik, baik untuk tensimeter maupun stetoskop. Perusahaan ini merupakan pemimpin pasar domestik untuk produk tensimeter, dengan pangsa pasar 40%. Cara seperti ini juga dilakukan PT Shamrock Manufacturing (produsen sarung tangan/glove), dan PT Trimitra Garmedindo.

Tentu saja pola pemasaran dan distribusi alat kesehatan tak seragam, karena jenis alat kesehatan itu sendiri juga sangat beragam. Ada produk alat kesehatan yang dijual dengan target pasar end user institusi dan rumah sakit, tapi ada pula alat kesehatan yang dipasarkan langsung ke pengguna individual. Harganya pun bervariasi, dari yang hanya ratusan ribu rupiah hingga di atas Rp 10 miliar per unit.

Sudah pasti, untuk memasarkan jenis alat kesehatan dengan sasaran institusi dan rumah sakit (B2B) butuh pendekatan berbeda, kendati mereka bisa dikategorikan sebagai user. Biasanya, dalam kasus bisnis B2B, proses transaksi sangat ditentukan oleh beberapa orang pengambil keputusan di pihak pembeli dari institusi, seperti bagian pembelian ataupun keuangan – atau apa pun namanya – yang tugasnya di bidang pengadaan alat kesehatan buat lembaganya.

Harus diakui, dalam banyak kasus, sukses-tidaknya para pemasar alat kesehatan sangat ditentukan oleh kemampuannya memengaruhi para pengambil keputusan itu agar bersedia membeli atau setidaknya merekomendasi produk yang mereka tawarkan. Dalam hal ini, makna memengaruhi tidak selalu berkonotasi negatif seperti “menyogok” ataupun melakukan mark-up, tapi bisa juga dalam bentuk persuasi-persuasi rasional yang didukung argumen ilmiah dan dibenarkan secara medis.


Biar Mahal, Cepat Balik Modal
Oleh : Eva Martha Rahayu

Sejumlah rumah sakit besar berani menginvestasikan duit puluhan miliar untuk membeli alat-alat kesehatan berteknologi canggih. Bagaimana kalkulasi bisnisnya?

Berobat ke luar negeri sudah menjadi bagian dari gaya hidup bagi sebagian kalangan berduit di Indonesia. Banyak dari mereka yang pergi ke rumah sakit Singapura atau Malaysia untuk menyembuhkan penyakitnya. Alasannya jelas: di luar negeri peralatan medisnya lebih canggih dan komplet.

Tren berobat ke mancanegara ini menggelitik para pelaku bisnis rumah sakit. Mereka berpikir, ketimbang duit pasien terbuang lebih banyak untuk ongkos ke luar negeri, mengapa tidak mereka saja yang menyediakan fasilitasnya. Dengan peralatan medis yang sama-sama up to date, tentu biaya yang akan dikeluarkan pasien lebih hemat jika berobat di dalam negeri. Tak ayal, beberapa rumah sakit besar jorjoran membeli alat-alat kesehatan yang serba canggih untuk memenuhi selera pasar.

Pauline Widyawati, Kepala Pemasaran Siloam Hospital, membenarkan, pihaknya berupaya mencegat maraknya golongan menengah-atas yang hendak berobat ke negeri jiran dengan menyediakan fasilitas medis bertaraf internasional. “Upaya ini sebagai langkah meningkatkan layanan masyarakat yang membutuhkan dan mampu,” katanya. Selain itu, yang menjadi pertimbangan pembelian alat kesehatan adalah informasi dari luar tentang magnet yang mampu menarik calon pasien. Contohnya RS A banyak pasiennya karena punya alat B, maka Siloam akan membeli alat kesehatan itu juga. Toh, ia tidak menampik sinyalemen kadang kala biaya pengobatan di luar negeri justru lebih murah dibanding lokal. Mengapa? “Di luar negeri alat kesehatan tidak kena pajak, sehingga mereka bisa jual jasa lebih murah. Sementara, di sini malah kena pajak tinggi,” Pauline menegaskan.

Sementara itu, RS Husada membeli alat kesehatan canggih karena kemampuannya mendiagnosis penyakit lebih cepat dan hasil pemeriksaan lebih akurat. “Setiap manusia punya kecenderungan ingin berumur lebih panjang. Dengan diterapkan teknologi canggih, kami berharap bisa mendiagnosis penyakit lebih dini, serta menyembuhkan secara pasti dan akurat,” ujar mantan pejabat RS Husada yang tidak bersedia menyebutkan jati dirinya ini.

Potensi pasar pun menjadi pertimbangan dalam berbelanja alat kesehatan. “Kami mesti melihat kekuatan pasar. Kira-kira pasiennya banyak atau tidak. Kalau masyarakat di sekitar sini tidak bisa bayar, buat apa beli mahal-mahal. Ya kan,” tukas Winahyo Hardjoprakoso, Presdir Hospital Cinere meyakinkan. Namun, siapa pun mafhum bahwa penduduk di kawasan Hospital Cinere adalah masyarakat menengah-atas, karena di sekitarnya banyak permukiman mewah.

Apa saja alat kesehatan canggih yang dimiliki sejumlah rumah sakit tersebut? Di Hospital Cinere misalnya, peralatan baru semua untuk Klinik Kardiovaskular, yang baru dioperasionalkan 2 Agustus 2006. “Hampir 70% alat kesehatan itu merek Philips, sisanya produk buatan Jepang,” Winahyo menambahkan. Patut dimaklumi jika klinik itu banyak memakai alat kesehatan dari Belanda. Sebab berdirinya klinik penanganan jantung itu hasil kerja sama manajemen Hospital Cinere dengan Heart Centre Zwolle – Isala Klinieken, Belanda. Adapun jenis alat kesehatan yang dimiliki Klinik Kardiovaskular, antara lain, alat kateterisasi untuk kateter jantung yang paling canggih. Selain itu ada multislice computerized tomography (MSCT) Scan 64, sehingga sistem kerjanya dalam pembuatan film lebih cepat. Untuk periksa kehamilan, Cinere punya alat ultrasonografi (USG) tiga dan empat dimensi.

Sumber : Majalah Swa

0 komentar :

Artikel Rekomendasi

Bagaimana untuk Mengelola "How To Manage" Series untuk Teknologi Kesehatan

WHO Teknologi kesehatan dan manajemen teknologi kesehatan telah menjadi isu kebijakan yang semakin terlihat. Sementara kebutuh...

Popular Post

Recomended

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner