Jakarta, CNN Indonesia
--
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materi
Undang-undang 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan. Ketentuan dalam UU yang
mengatur tentang pengelompokan dokter, dokter gigi, dokter spesialis,
dan dokter gigi spesialis ke dalam tenaga kesehatan, khususnya tenaga
medis, dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikat.
"Mengabulkan permohonan para pemohon sebagian," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (14/12).
Dalam pertimbangannya, majelis hakim konstitusi berpendapat bahwa dokter dan dokter gigi adalah profesi mandiri yang keputusan medisnya didasarkan pada kepentingan pasien dan kesehatan publik. Sementara dalam UU tersebut, dokter dan dokter gigi termasuk dalam tenaga kesehatan yang bergabung dengan tenaga vokasi lainnya seperti perawat, bidan, atau pun teknisi gigi.
Majelis hakim menilai, dokter dan dokter gigi adalah tenaga medis profesional yang berbeda dengan tenaga vokasi lainnya yang termasuk dalam tenaga kesehatan.
"Sifat kemandirian dokter dan dokter gigi dalam mengambil keputusan hampir sama dengan profesi hakim. Keduanya menjunjung tinggi hati nurani sebagai instrumen penting mengambil keputusan," kata Arief.
Selain itu, untuk menjaga sifat khas profesi dokter dan dokter gigi, majelis hakim konstitusi menilai perlu pembentukan wadah independen sesuai hakikat dan profesi dokter gigi. Oleh karena itu, ketentuan yang mengatur tentang peleburan Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi menjadi bagian Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) mesti dipisah menjadi konsil kedokteran yang mandiri dan independen.
Uji materi diajukan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB-PDGI), dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) pada tahun 2015. Empat pasal yang diuji yakni Pasal 11 ayat 1 huruf a, Pasal 11 ayat 2, Pasal 90, dan Pasal 94.
Pemohon menilai ketentuan dalam pasal tersebut berpotensi menimbulkan kerugian terhadap kekhususan profesi dokter. UU tersebut mestinya membedakan tenaga profesi di bidang kesehatan seperti dokter dan dokter gigi dengan tenaga vokasi seperti teknisi gigi.
"Mengabulkan permohonan para pemohon sebagian," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (14/12).
Dalam pertimbangannya, majelis hakim konstitusi berpendapat bahwa dokter dan dokter gigi adalah profesi mandiri yang keputusan medisnya didasarkan pada kepentingan pasien dan kesehatan publik. Sementara dalam UU tersebut, dokter dan dokter gigi termasuk dalam tenaga kesehatan yang bergabung dengan tenaga vokasi lainnya seperti perawat, bidan, atau pun teknisi gigi.
Majelis hakim menilai, dokter dan dokter gigi adalah tenaga medis profesional yang berbeda dengan tenaga vokasi lainnya yang termasuk dalam tenaga kesehatan.
"Sifat kemandirian dokter dan dokter gigi dalam mengambil keputusan hampir sama dengan profesi hakim. Keduanya menjunjung tinggi hati nurani sebagai instrumen penting mengambil keputusan," kata Arief.
Selain itu, untuk menjaga sifat khas profesi dokter dan dokter gigi, majelis hakim konstitusi menilai perlu pembentukan wadah independen sesuai hakikat dan profesi dokter gigi. Oleh karena itu, ketentuan yang mengatur tentang peleburan Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi menjadi bagian Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) mesti dipisah menjadi konsil kedokteran yang mandiri dan independen.
Uji materi diajukan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB-PDGI), dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) pada tahun 2015. Empat pasal yang diuji yakni Pasal 11 ayat 1 huruf a, Pasal 11 ayat 2, Pasal 90, dan Pasal 94.
Pemohon menilai ketentuan dalam pasal tersebut berpotensi menimbulkan kerugian terhadap kekhususan profesi dokter. UU tersebut mestinya membedakan tenaga profesi di bidang kesehatan seperti dokter dan dokter gigi dengan tenaga vokasi seperti teknisi gigi.
0 komentar :
Post a Comment