Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi beberapa pasal UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang dimohonkan Komunitas Kedokteran Indonesia (KKI). Dari 22 pasal yang diuji, MK hanya membatalkan empat pasal. MK menyatakan Pasal 11 ayat (1) huruf a, Pasal 11 ayat (2), Pasal 90, dan Pasal 94 UU Tenaga Kesehatan terkait istilah tenaga medis dan keberadaan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) bertentangan dengan konstitusi, dank arena itu harus dinyatakan tidak berlaku. Pengujian 18 pasal lainnya ditolak.
“MenyatakanPasal11ayat (1) huruf a, Pasal 11 ayat (2), Pasal 90, Pasal 94 UU Tenaga Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945 Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua Majelis MK, Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 82/PUU-XIII/2015 di Gedung MK, Rabu (14/12).
Sebelumnya, Komunitas Kedokteran Indonesia yang terdiri dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB-PDGI), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dokter Mohammad Adib Khumaidi, dan Salamuddin mempersoalkan sekitar 22 pasal dalam UU Tenaga Kesehatan. (Baca juga: Mantan Dirjen Dikti Ingin KKI Tetap Dipertahankan).
Ketentuan itu dinilai mengandung kesalahan atau kekeliruan konseptual karena mencampuradukkan tenaga medis (profesi dokter, dokter gigi) dan tenaga kesehatan lain tanpa membedakan mana tenaga profesi (dokter dan dokter gigi) dan mana tenaga vokasi (misalnya teknisi gigi). Kesalahan konseptual ini dinilai pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Pasal 34 ayat (3), misalnya, menyebutkan Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi yang dibentuk berdasarkan UU Praktik Kedokteran terancam akan diambil alih (dibubarkan) menjadi bagian dan di bawah Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI). Pemohon menganggap KTKI bekerja tanpa disumpah, tidak memiliki fungsi pengawasan (penegakan disiplin), dan tidak independen karena bertanggung jawab terhadap Menkes. Hal ini bentuk pencampuradukan atau penyamaan antara tenaga medis dan tenaga kesehatan yang mengacaukan sistem praktik kedokteran. (Baca juga: DPR dan Pemerintah Sepakat KTKI Konstitusional).
Para pemohon meminta MK tafsir bersyarat, seperti Pasal 11 ayat (1a) ditafsirkan ‘istilah tenaga medis dikeluarkan pengaturan UU Tenaga Kesehatan’; menghapus istilah ‘KTKI’ atau diubah dengan ‘Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia’ dalam Pasal 34 ayat (3), Pasal 90 ayat (1), (2), (3), Pasal 94 UU Tenaga Kesehatan. Selain itu, frasa “uji kompetensi” dalam Pasal 1 angka 6, Pasal 21 ayat (1)-(6) harus dimaknai “ujian kelulusan akhir”.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran selain tunduk ketentuan hukum yang berlaku, juga harus mentaati ketentuan kode etik yang disusun organisasi profesi dan didasarkan disiplin ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Seperti, adanya Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
“Sebagai institusi, dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi, Konsil Kedokteran Indonesia perlu dioptimalkan agar dapat bekerja secara optimal selaku pengawas eksternal yang independen dalam praktik kedokteran,” ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar saat membacakan pertimbangan putusan.
Mahkamah menerangkan profesi dokter dan dokter gigi dianggap mempraktikkan ilmu kedokteran secara harfiah dibandingkan dengan profesi-profesi perawatan kesehatan terkait. “Profesi kedokteran adalah struktur sosial dan pekerjaan sekelompok orang yang dididik secara formal serta diberikan wewenang menerapkan ilmu kedokteran. Di berbagai negara dan wilayah hukum terdapat batasan hukum siapa yang berhak mempraktikkan ilmu kedokteran atau bidang kesehatan terkait,” terangnya.
Karenanya, profesi kedokteran memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan tenaga kesehatan pada umumnya seperti diatur UU No. 36 Tahun 2014. Dengan kata lain, meskipun dokter dan dokter gigi sebagai ‘tenaga medis’ adalah bagian dari tenaga kesehatan, tetapi karena kekhususannya terutama berkenaan dengan keberadaan KKI dan uji kompetensi dokter, ternyata materi itu telah diatur khusus dalam UU Praktik Kedokteran.
“Karena itu, menurut Mahkamah seharusnya sepanjang menyangkut KKI dan uji kompetensi (uji kompetensi dokter) tidak diatur dalam UU Tenaga Kesehatan.”
“MenyatakanPasal11ayat (1) huruf a, Pasal 11 ayat (2), Pasal 90, Pasal 94 UU Tenaga Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945 Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua Majelis MK, Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 82/PUU-XIII/2015 di Gedung MK, Rabu (14/12).
Sebelumnya, Komunitas Kedokteran Indonesia yang terdiri dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB-PDGI), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dokter Mohammad Adib Khumaidi, dan Salamuddin mempersoalkan sekitar 22 pasal dalam UU Tenaga Kesehatan. (Baca juga: Mantan Dirjen Dikti Ingin KKI Tetap Dipertahankan).
Ketentuan itu dinilai mengandung kesalahan atau kekeliruan konseptual karena mencampuradukkan tenaga medis (profesi dokter, dokter gigi) dan tenaga kesehatan lain tanpa membedakan mana tenaga profesi (dokter dan dokter gigi) dan mana tenaga vokasi (misalnya teknisi gigi). Kesalahan konseptual ini dinilai pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Pasal 34 ayat (3), misalnya, menyebutkan Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi yang dibentuk berdasarkan UU Praktik Kedokteran terancam akan diambil alih (dibubarkan) menjadi bagian dan di bawah Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI). Pemohon menganggap KTKI bekerja tanpa disumpah, tidak memiliki fungsi pengawasan (penegakan disiplin), dan tidak independen karena bertanggung jawab terhadap Menkes. Hal ini bentuk pencampuradukan atau penyamaan antara tenaga medis dan tenaga kesehatan yang mengacaukan sistem praktik kedokteran. (Baca juga: DPR dan Pemerintah Sepakat KTKI Konstitusional).
Para pemohon meminta MK tafsir bersyarat, seperti Pasal 11 ayat (1a) ditafsirkan ‘istilah tenaga medis dikeluarkan pengaturan UU Tenaga Kesehatan’; menghapus istilah ‘KTKI’ atau diubah dengan ‘Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia’ dalam Pasal 34 ayat (3), Pasal 90 ayat (1), (2), (3), Pasal 94 UU Tenaga Kesehatan. Selain itu, frasa “uji kompetensi” dalam Pasal 1 angka 6, Pasal 21 ayat (1)-(6) harus dimaknai “ujian kelulusan akhir”.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran selain tunduk ketentuan hukum yang berlaku, juga harus mentaati ketentuan kode etik yang disusun organisasi profesi dan didasarkan disiplin ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Seperti, adanya Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
“Sebagai institusi, dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi, Konsil Kedokteran Indonesia perlu dioptimalkan agar dapat bekerja secara optimal selaku pengawas eksternal yang independen dalam praktik kedokteran,” ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar saat membacakan pertimbangan putusan.
Mahkamah menerangkan profesi dokter dan dokter gigi dianggap mempraktikkan ilmu kedokteran secara harfiah dibandingkan dengan profesi-profesi perawatan kesehatan terkait. “Profesi kedokteran adalah struktur sosial dan pekerjaan sekelompok orang yang dididik secara formal serta diberikan wewenang menerapkan ilmu kedokteran. Di berbagai negara dan wilayah hukum terdapat batasan hukum siapa yang berhak mempraktikkan ilmu kedokteran atau bidang kesehatan terkait,” terangnya.
Karenanya, profesi kedokteran memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan tenaga kesehatan pada umumnya seperti diatur UU No. 36 Tahun 2014. Dengan kata lain, meskipun dokter dan dokter gigi sebagai ‘tenaga medis’ adalah bagian dari tenaga kesehatan, tetapi karena kekhususannya terutama berkenaan dengan keberadaan KKI dan uji kompetensi dokter, ternyata materi itu telah diatur khusus dalam UU Praktik Kedokteran.
“Karena itu, menurut Mahkamah seharusnya sepanjang menyangkut KKI dan uji kompetensi (uji kompetensi dokter) tidak diatur dalam UU Tenaga Kesehatan.”
0 komentar :
Post a Comment