Oleh SHIDARTA (Oktober 2015)
Beberapa waktu lalu rekan saya mencoba mencari pompa benam (submersible pump) yang populer di Indonesia dengan sebutan pompa satelit. Sangat mengherankan, dari semua merek pompa yang beredar dan dijual di Indonesia, hampir seluruhnya dengan gagah berani menyatakan tidak akan memberikan garansi apapun jika terjadi kegagalan fungsional atas pompa demikian. Akhirnya, dia memang berhasil menemukan satu tipe dari merek terkenal produk impor buatan Meksiko, dengan janji akan memberikan garansi selama satu tahun. Walau harganya lebih mahal, ia memutuskan untuk membeli pompa ini. Anehnya, kartu garansi tidak diberikan seketika, tetapi dijanjikan akan dikirim kemudian. Saya memang tidak mengikuti lagi kisah ini selanjutnya, namun selang beberapa minggu ia ternyata tetap kesulitan mendapatkan kartu garansi tersebut. Kartu garansi itu tetap tak kunjung dikirimkan. Bagaimana mungkin hal seperti ini dapat terjadi? Apakah begitu sulit pelaku usaha di negeri ini menunaikan garansi seperti yang dijanjikan?
Garansi adalah suatu bentuk layanan pasca-transaksi konsumen (post-cosumer transaction) yang diberikan untuk pemakaian barang yang digunakan secara berkelanjutan. Garansi dapat dinyatakan secara tegas (express warranty) maupun secara tersirat (implied warranty). Di Indonesia, masyarakat juga mengenal perbedaan antara garansi pabrik dan garansi toko. Garansi pabrik lazimnya dinyatakan secara tegas dan tertulis, sementara garansi toko disampaikan secara lisan. Garansi yang disebutkan terakhir ini biasanya hanya berlaku dalam hitungan hari.
Garansi seharusnya tidak hanya bergantung pada hasil kesepakatan antara para pihak yang terlibat dalam transaksi. Pasal 7 huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara tegas menyatakan bahwa salah satu dari kewajiban pelaku usaha adalah memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 memang memiliki banyak kelemahan. Dari redaksi pasal di atas secara jelas terlihat kebingungan pembuat undang-undang ketika harus mencantumkan kata “barang dan/atau jasa”. Untuk barang/jasa tertentu, konsumen diberi hak untuk menguji-coba, tetapi pada anak kalimat berikutnya kata-kata “tertentu” tidak dicantumkan. Sepantasnya, tidak ada pengecualian, bahwa semua barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan harus diberikan jaminan dan/atau garansi. Tidak hanya untuk barang/jasa tertentu. Tapi, apakah perlu untuk memberikan jaminan dan/atau garansi (dua istilah yang juga tidak jelas perbedaannya dalam undang-undang ini) untuk barang yang dibuat tetapi tidak diperdagangkan?
Jika dicermati dari pasal-pasal lain yang ada dalam Undang-Undang Perliindungan Konsumen, terminologi jaminan secara konotatif bermakna lebih luas daripada garansi. Kata jaminan muncul 14 kali dalam naskah batang tubuh dan penjelasan undang-undang. Kata garansi muncul enam kali. Salah satunya ada dalam Pasal 25, yang menyatakan: “(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purnajual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan; (2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada Ayat (1 ) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut: (a) tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan; (b) tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan dan/atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26 selanjutnya menyatakan: “Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.” Di sini secara spesifik disebutkan bahwa tidak hanya barang yang dipersyaratkan untuk diberikan jaminan/garansi, melainkan juga untuk jasa. Namun, dasar hukum dari pemberiannya adalah kesepakatan dan/atau perjanjian (dua istilah yang juga kembali membingungkan karena ketidakjelasan maksud pembentuk undang-undang untuk membedakan kesepakatan dengan perjanjian).
Pasal berikutnya, yaitu Pasal 27 berbunyi: “Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila: (a) barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan; (b) cacat barang timbul pada kemudian hari; (c] cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; (d) kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen; (e) lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Penjelasan Pasal 27 huruf e menyatakan: “Jangka waktu yang diperjanjikan itu adalah masa garansi.” Istilah garansi di dalam Pasal 27 ini secara negatif memperlihatkan adanya kewajiban pelaku usaha untuk memberikan garansi, sekaligus mengasosiasikan garansi sebagai dasar untuk melakukan penuntutan. Kata penuntutan di sini kemungkinan sekali adalah pengajuan gugatan di dalam ranah hukum perdata. Hal ini diperkuat dengan ketiadaan akibat pelanggaran Pasal 27 ini disebut-sebut di dalam ketentuan sanksi pidana. Hanya saja, kesimpulan ini bisa pula dibantah karena ketentuan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 62 yakni berupa pelanggaran atas Pasal 8 s.d. 18, adalah pasal-pasal yang bersinggungan juga dengan garansi.
Jadi, garansi adalah sebuah bentuk jaminan yang ditetapkan dengan undang-undang, khususnya dalam hal jangka waktu minimalnya. Perjanjian boleh saja menambahkan jangka waktu lebih daripada yang sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan jangka waktu selama empat tahun sejak barang dibelikan. Garansi selama empat tahun itu ternyata adalah untuk ‘barang’ saja (mengingat tidak ada kata ‘jasa’ dalam Pasal 27 huruf e ini). Sayangnya, masa garansi empat tahun itu ternyata bukan jangka waktu minimal karena anak kalimat tersebut dianulir oleh pernyataan berikutnya: ‘…atau lewatnya waktu yang diperjanjikan’. Artinya, bisa saja ada perjanjian untuk memberi garansi di bawah masa empat tahun.
Garansi dapat berupa pergantian barang yang dibeli atau bentuk lain senilai barang tersebut, atau berbentuk layanan perbaikan kerusakan, atau berupa ketersediaan suku cadang yang orisinal dari produsen yang sama (bukan pula dengan tata cara pergantian komponen barang secara kanibal). Lalu berapa lama jangka waktu minimal garansi ketersediaan suku cadang? Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang dikutip di atas memberikan batas waktu selama setahun. Patut dicatat bahwa redaksi pasal ini sebenarnya tidak mengikuti kaidah berbahasa Indonesia yang tepat karena menimbulkan dua pemaknaan sekaligus. Pertama, masa satu tahun itu bisa dibaca sebagai pemakaian barang secara berkelanjutan selama setahun; atau kedua, penyediaan suku cadang selama setahun sejak barang dibeli (purnajual). Tentu saja, yang paling masuk akal adalah pemaknaan kedua, yaitu garansi suku cadang selama setahun sejak suatu barang dibeli. Di sini, bentuk transaksi konsumen apabila ditafsirkan secara gramatikal juga sudah sangat dibatasi, yaitu hanya untuk barang yang diperoleh melalui proses jual-beli, tidak termasuk format transaksi yang lain (misalnya sewa-menyewa dan tukar-menukar).
Pertanyaan berikutnya adalah: lembaga mana yang berwenang menyelesaikan permasalahan pelanggaran garansi ini menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen? Kita mungkin dapat serta merta menunjuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Saya mencermati bahwa BPSK didesain sebagai lembaga yang secara limitatif hanya menangani pelanggaran pasal-pasal tertentu saja di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu Pasal 19 ayat (2) dan (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam praktik memang BPSK ternyata juga memperluas kewenangannya dengan memproses sengketa konsumen akibat pelanggaran di luar keempat pasal tersebut. Tampaknya Mahkamah Agung tidak berkeberatan (atau mungkin tidak menyadari) atas adanya perluasan kewenangan ini.
Keempat pasal yang disebutkan di atas ternyata juga berkaitan dengan persoalan garansi. Perbuatan yang diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, misalnya, adalah perbuatan yang tergolong pelanggaran hukum yang dapat diproses di bawah BPSK. Pelaku usaha yang tidak memberikan garansi berupa penyediaan suku cadang selama setahun, atau tidak memenuhi/gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan, dapat dijatuhkan sanksi administratif oleh BPSK berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp200 juta. Tata cara penetapan sanksi administratif ini harus menunggu pengaturan lebih lanjut lagi dalam peraturan perundang-undangan. Seyogianya tata cara ini sudah tertampung dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK, tetapi kepmen ini lebih terfokus mengatur tata cara kerja BPSK secara umum daripada tata cara penetapan sanksi administratif.
Paparan di atas memperlihatkan bahwa Undang-Undang Pelindungan Konsumen yang berlaku saat ini memang sangat lemah dalam memberikan jaminan layanan purnajual bagi para konsumen. Undang-undang kita tidak memuat ketentuan yang memaksa, hanya mengatur. Apa yang semula sudah dipertegas di dalam redaksi undang-undang ternyata diperlemah sendiri oleh pembentuk undang-undang dengan menyatakan: “… atau yang diperjanjikan”. Padahal, kemampuan pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan ketentuan layanan purnajual ini terbilang lemah, sehingga membutuhkan bantuan penguatan dari inisiatif warga (konsumen) untuk memperjuangkan sendiri hak-hak mereka. Yang dibutuhkan dari negara adalah bantuan fasilitas berupa infrastruktur peraturan perundang-undangan yang menguatkan posisi tawar mereka di hadapan pelaku usaha. Penguatan itu harus bersifat riil-substansial, bukan formalitas atau sekadar ada tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Keenganan konsumen untuk memperjuangkan hak-hak mereka, kendati Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 sudah berusia 16 tahun, menunjukkan kondisi anomali dari hasrat penguatan tersebut. Padahal, bukankah penguatan itulah yang menjadi makna hakiki dari kata-kata ‘perlindungan’ pada judul Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 itu? (***)
0 komentar :
Post a Comment