Downtime adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan periode waktu tidak berfungsinya alat medis karena mengalami gangguan, kerusakan, atau perawatan, sehingga tidak dapat digunakan untuk pelayanan medis, mengganggu layanan yang biasanya tersedia 24/7.
Ketika downtime terjadi, hal ini bisa berdampak pada pengalaman pengguna, operasional bisnis, hingga keuntungan perusahaan. Downtime bisa terjadi karena berbagai alasan, baik yang terencana maupun yang tidak terduga, dan dapat mengakibatkan penurunan produktivitas, kehilangan pendapatan, dan kerusakan reputasi.
Dalam praktiknya, sikap "tidak mau tahu" dari manajemen rumah sakit atau user/operator saat terjadi downtime alat kesehatan adalah masalah nyata yang sering dihadapi oleh teknisi elektromedis dan tim pemeliharaan. Mereka ingin segera alat medis mereka diperbaiki, tidak mau tahu rusak karena apa dan penyebabnya apa, ingin segera diperbaiki.
Downtime ini dapat terjadi karena:
-
Kerusakan teknis (misalnya komponen rusak atau aus)
-
Gangguan software atau sistem
-
Keterlambatan perawatan atau kalibrasi
-
Menunggu suku cadang atau teknisi
-
Pemadaman listrik atau faktor eksternal lainnya
Mengapa Manajemen atau User Cenderung Abai terhadap Downtime?
1. Kurangnya Pemahaman Teknis
-
Banyak pihak manajemen tidak memahami urgensi peran alat kesehatan dalam menjaga mutu dan keselamatan pasien.
-
Mereka melihat alat hanya sebagai "barang", bukan sebagai bagian sistem kritis klinis.
2. Fokus pada Biaya, Bukan Fungsi
-
Manajemen terkadang menunda perawatan karena alasan anggaran.
-
Mereka menganggap biaya pemeliharaan sebagai beban, bukan investasi jangka panjang.
3. Tidak Ada Sistem Monitoring Downtime
-
Tanpa sistem pencatatan downtime, manajemen tidak melihat datanya, sehingga menganggap masalahnya tidak serius.
-
Kerusakan yang dicatat secara informal atau tidak dilaporkan resmi → tidak terdengar di tingkat atas.
4. Budaya "Asal Bisa Jalan"
-
Operator/user kadang tetap memakai alat walau error ringan muncul.
-
Downtime tidak dilaporkan → hanya teknisi yang tahu → masalah dibiarkan berlarut-larut.
Sikap abai terhadap downtime alat kesehatan adalah masalah budaya organisasi dan kurangnya literasi teknis. Solusinya bukan hanya teknis, tetapi juga pendekatan komunikasi, data-driven, dan sistemik. Tim elektromedis punya peran penting untuk mengangkat isu ini ke permukaan dengan cara yang profesional dan terukur.
Di Lain Hal ......
Pernyataan bahwa "kalau terjadi downtime alat kesehatan, dokter dan perawat senang karena waktu kerja libur" adalah pandangan yang keliru atau sangat menyederhanakan situasi di lapangan. Berikut penjelasan faktual dari sisi profesionalisme tenaga medis dan dampak operasional
Mengapa Pernyataan Ini Tidak Benar (atau Tidak Tepat)?
1. Downtime Penunjang Alat Medis Justru Menambah Beban, Bukan Mengurangi
-
Saat alat rusak, tugas dokter dan perawat menjadi lebih rumit.
-
Misalnya, saat infus pump rusak, perawat harus mengatur infus manual → lebih berisiko dan melelahkan.
-
Jika alat bantu napas (ventilator) tidak tersedia, penanganan pasien kritis bisa sangat terganggu.
-
2. Waktu Kerja Justru Bisa Lebih Lama
-
Prosedur yang biasa cepat dengan alat, jadi lebih lambat secara manual.
-
Tertundanya pasien berikutnya bisa menyebabkan lembur atau penjadwalan ulang yang mengganggu jadwal kerja.
3. Stres dan Tekanan Meningkat
-
Downtime menyebabkan:
-
Ketidakpastian dalam penanganan pasien
-
Kekhawatiran atas keselamatan pasien
-
Tekanan dari keluarga pasien atau manajemen
-
4. Tenaga Medis Profesional Bertanggung Jawab
-
Dokter dan perawat umumnya memiliki kode etik dan komitmen tinggi terhadap pelayanan pasien.
Banyak yang justru cemas atau kesal jika alat pendukung mereka tidak berfungsi.
Kalau Ada Waktu “Luang”, Bukan Karena Senang
-
Kadang downtime membuat prosedur tertunda → bukan waktu libur, tapi waktu menunggu yang tidak produktif dan mengganggu alur kerja.
Dalam sistem RS yang baik, waktu ini digunakan untuk mengatur ulang jadwal, memberi penjelasan ke pasien, atau mengisi laporan.
Downtime alat kesehatan bukan hal yang membuat tenaga medis senang, melainkan tantangan serius yang mengganggu alur kerja, meningkatkan risiko medis, dan menambah stres kerja. Dalam sistem pelayanan profesional, setiap kerusakan alat adalah situasi darurat yang harus ditangani cepat
Kerugian akibat downtime kerusakan alat medis bisa berdampak serius dan luas, baik dari segi pelayanan kesehatan maupun operasional rumah sakit. Berikut adalah beberapa kerugian utamanya:
1. Dampak terhadap pasien
-
Penundaan diagnosis atau pengobatan
→ Alat seperti CT Scan, MRI, ventilator, atau monitor pasien yang rusak bisa menunda penanganan pasien secara langsung. -
Risiko keselamatan pasien meningkat
→ Terutama jika alat tersebut krusial dalam penanganan kegawatdaruratan. Menurunnya kepuasan pasien
→ Pasien bisa merasa kecewa, tidak percaya, bahkan memilih pindah ke fasilitas lain.
2. Kerugian operasional & finansial
-
Biaya perbaikan atau penggantian suku cadang
-
Biaya tambahan akibat keterlambatan layanan
→ Seperti pemindahan pasien ke rumah sakit lain, biaya transportasi, atau overtime tenaga medis. Potensi kehilangan pendapatan
→ Jika alat digunakan untuk layanan berbayar (seperti CT Scan atau USG), downtime berarti kehilangan pemasukan.
3. Efek terhadap tenaga medis
-
Produktivitas menurun
→ Tenaga medis harus menunda tindakan, mencari solusi alternatif, atau mengerjakan prosedur secara manual. Stres dan frustrasi
→ Ketika alat penunjang penting tidak tersedia dalam kondisi darurat.
4. Gangguan alur kerja rumah sakit
-
Penumpukan antrean dan penundaan layanan
-
Penjadwalan ulang pasien
Kekacauan logistik dan administrasi
5. Implikasi hukum dan reputasi
-
Tuntutan hukum jika kerusakan alat menyebabkan kelalaian medis
-
Citra rumah sakit tercoreng
→ Terutama jika kejadian sering terjadi dan tidak ada solusi sistematis
Berikut adalah analisa terjadinya downtime kerusakan alat kesehatan, dilihat dari penyebab, dampak, dan solusi pencegahan secara sistematis:
📊 A. Penyebab Downtime Kerusakan Alat Kesehatan
1. Faktor Teknis
-
Keausan komponen karena pemakaian jangka panjang
-
Kegagalan perangkat lunak (software error)
-
Kerusakan sistem listrik/internal seperti power supply, fuse, atau modul elektronik
-
Kalibrasi yang tidak sesuai atau terlambat
2. Faktor Manusia
-
Kesalahan penggunaan alat oleh operator medis
-
Kurangnya pelatihan pengguna atau teknisi
-
Pengabaian perawatan rutin atau SOP
3. Faktor Manajemen
-
Tidak adanya jadwal preventive maintenance (PM)
-
Keterlambatan dalam perbaikan karena tidak ada kontrak layanan
-
Tidak tersedia suku cadang atau alat pengganti
4. Faktor Lingkungan
-
Suhu dan kelembapan ruangan tidak terkontrol
-
Gangguan daya listrik (tanpa UPS atau stabilizer)
-
Paparan debu atau cairan berbahaya
FISHBONE DOWNTIME KERUSAKAN ALAT KESEHATAN
Penjelasan Tiap Kategori:
-
Manusia (People)
-
Operator atau teknisi kurang pelatihan
-
Salah dalam prosedur penggunaan
-
Tidak mengikuti standar operasional
-
-
Mesin (Machine)
-
Komponen internal rusak (sensor, fuse, board)
-
Perangkat lunak (firmware) bermasalah
-
Kalibrasi tidak pernah dilakukan
-
Umur alat sudah melewati masa pakai optimal
-
-
Metode (Method)
-
Tidak ada SOP perawatan
-
Tidak ada jadwal preventive maintenance
-
Tidak ada sistem pencatatan kerusakan/riwayat alat
-
-
Material (Material)
-
Suku cadang langka atau lama datang
-
Alat ukur tidak dikalibrasi → diagnosis keliru
-
Material habis pakai (sensor, gel, elektroda) tidak tersedia
-
-
Lingkungan (Environment)
-
Kelembaban atau suhu ruang tidak sesuai standar
-
Debu, cairan atau kontaminan masuk ke alat
-
Listrik tidak stabil (tanpa UPS)
-
-
Manajemen (Management)
-
Tidak ada anggaran rutin untuk pemeliharaan
-
Tidak ada kontrak servis/garansi alat
-
Kurangnya sistem monitoring alat secara menyeluruh
-
Untuk mencegah terjadinya downtime peralatan kesehatan, pendekatan preventive maintenance (perawatan pencegahan) sangat penting. Berikut adalah cara-cara efektif untuk mencegah downtime pada alat kesehatan:
1. Jadwal Preventive Maintenance Berkala
-
Susun jadwal rutin berdasarkan rekomendasi pabrik (OEM).
-
Lakukan pemeriksaan dan kalibrasi secara periodik: harian, mingguan, bulanan, atau tahunan tergantung jenis alat.
Contoh: Autoclave → dicek setiap minggu, Ventilator → kalibrasi tiap 6 bulan.
2. Pelatihan Pengguna (User Training)
-
Pastikan tenaga medis dan teknisi terlatih menggunakan alat sesuai SOP.
Kesalahan penggunaan adalah salah satu penyebab utama kerusakan alat.
3. Monitoring Kinerja Alat (Asset Monitoring)
-
Gunakan sistem manajemen aset (CMMS) atau log manual untuk mencatat performa dengan sensor otomatis, alarm, dan riwayat kerusakan.
Deteksi dini gejala kerusakan sebelum terjadi kegagalan total.
4. Kalibrasi Berkala
-
Lakukan kalibrasi rutin untuk memastikan akurasi alat, terutama alat ukur seperti tensimeter, ventilator, atau EKG.
Kalibrasi yang tidak tepat bisa membuat alat tidak bisa dipakai secara legal/medis.
5. Simpan Cadangan Suku Cadang
-
Simpan spare part penting seperti sensor, fuse, atau kabel untuk alat-alat kritikal.
Ini mempercepat perbaikan saat terjadi kerusakan minor.
6. Kontrak Layanan (Service Contract)
-
Buat kontrak service dengan vendor atau distributor alat untuk:
-
Perawatan berkala
-
Respon cepat saat kerusakan (SLA)
Diskon atau gratis suku cadang
-
7. Audit dan Evaluasi Berkala
-
Lakukan audit teknis peralatan medis setiap 6 atau 12 bulan.
Evaluasi apakah alat masih layak pakai, perlu diperbarui, atau diganti.
8. Kontrol Lingkungan
-
Jaga lingkungan penyimpanan alat:
-
Suhu, kelembapan, dan kebersihan
-
Bebas dari getaran atau debu
-
Banyak alat sensitif terhadap kondisi lingkungan (misalnya inkubator bayi atau centrifuge).
9. Dokumentasi dan Pelaporan
-
Catat semua aktivitas perawatan, kerusakan, dan penggantian suku cadang.
-
Gunakan ini untuk analisis tren kerusakan dan perencanaan penggantian alat.
0 komentar :
Post a Comment