Downtime Alat Kesehatan, Mengapa Manajemen atau User Cenderung Abai terhadap Downtime?

 

 

Downtime adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan periode waktu tidak berfungsinya alat medis karena mengalami gangguan, kerusakan, atau perawatan, sehingga tidak dapat digunakan untuk pelayanan medis, mengganggu layanan yang biasanya tersedia 24/7. 

Ketika downtime terjadi, hal ini bisa berdampak pada pengalaman pengguna, operasional bisnis, hingga keuntungan perusahaan. Downtime bisa terjadi karena berbagai alasan, baik yang terencana maupun yang tidak terduga, dan dapat mengakibatkan penurunan produktivitas, kehilangan pendapatan, dan kerusakan reputasi. 

Dalam praktiknya, sikap "tidak mau tahu" dari manajemen rumah sakit atau user/operator saat terjadi downtime alat kesehatan adalah masalah nyata yang sering dihadapi oleh teknisi elektromedis dan tim pemeliharaan. Mereka ingin segera alat medis mereka diperbaiki, tidak mau tahu rusak karena apa dan penyebabnya apa, ingin segera diperbaiki. 

Downtime ini dapat terjadi karena:

  • Kerusakan teknis (misalnya komponen rusak atau aus)

  • Gangguan software atau sistem

  • Keterlambatan perawatan atau kalibrasi

  • Menunggu suku cadang atau teknisi

  • Pemadaman listrik atau faktor eksternal lainnya

 

Mengapa Manajemen atau User Cenderung Abai terhadap Downtime?

1. Kurangnya Pemahaman Teknis

  • Banyak pihak manajemen tidak memahami urgensi peran alat kesehatan dalam menjaga mutu dan keselamatan pasien.

  • Mereka melihat alat hanya sebagai "barang", bukan sebagai bagian sistem kritis klinis.

2. Fokus pada Biaya, Bukan Fungsi

  • Manajemen terkadang menunda perawatan karena alasan anggaran.

  • Mereka menganggap biaya pemeliharaan sebagai beban, bukan investasi jangka panjang.

3. Tidak Ada Sistem Monitoring Downtime

  • Tanpa sistem pencatatan downtime, manajemen tidak melihat datanya, sehingga menganggap masalahnya tidak serius.

  • Kerusakan yang dicatat secara informal atau tidak dilaporkan resmi → tidak terdengar di tingkat atas.

4. Budaya "Asal Bisa Jalan"

  • Operator/user kadang tetap memakai alat walau error ringan muncul.

  • Downtime tidak dilaporkan → hanya teknisi yang tahu → masalah dibiarkan berlarut-larut.

Sikap abai terhadap downtime alat kesehatan adalah masalah budaya organisasi dan kurangnya literasi teknis. Solusinya bukan hanya teknis, tetapi juga pendekatan komunikasi, data-driven, dan sistemik. Tim elektromedis punya peran penting untuk mengangkat isu ini ke permukaan dengan cara yang profesional dan terukur. 

 Di Lain Hal ......

Pernyataan bahwa "kalau terjadi downtime alat kesehatan, dokter dan perawat senang karena waktu kerja libur" adalah pandangan yang keliru atau sangat menyederhanakan situasi di lapangan. Berikut penjelasan faktual dari sisi profesionalisme tenaga medis dan dampak operasional

Mengapa Pernyataan Ini Tidak Benar (atau Tidak Tepat)?

1. Downtime Penunjang Alat Medis Justru Menambah Beban, Bukan Mengurangi

  • Saat alat rusak, tugas dokter dan perawat menjadi lebih rumit.

    • Misalnya, saat infus pump rusak, perawat harus mengatur infus manual → lebih berisiko dan melelahkan.

    • Jika alat bantu napas (ventilator) tidak tersedia, penanganan pasien kritis bisa sangat terganggu.

2. Waktu Kerja Justru Bisa Lebih Lama

  • Prosedur yang biasa cepat dengan alat, jadi lebih lambat secara manual.

  • Tertundanya pasien berikutnya bisa menyebabkan lembur atau penjadwalan ulang yang mengganggu jadwal kerja.

3. Stres dan Tekanan Meningkat

  • Downtime menyebabkan:

    • Ketidakpastian dalam penanganan pasien

    • Kekhawatiran atas keselamatan pasien

    • Tekanan dari keluarga pasien atau manajemen

4. Tenaga Medis Profesional Bertanggung Jawab

  • Dokter dan perawat umumnya memiliki kode etik dan komitmen tinggi terhadap pelayanan pasien.

  • Banyak yang justru cemas atau kesal jika alat pendukung mereka tidak berfungsi.

Kalau Ada Waktu “Luang”, Bukan Karena Senang

  • Kadang downtime membuat prosedur tertunda → bukan waktu libur, tapi waktu menunggu yang tidak produktif dan mengganggu alur kerja.

  • Dalam sistem RS yang baik, waktu ini digunakan untuk mengatur ulang jadwal, memberi penjelasan ke pasien, atau mengisi laporan.

Downtime alat kesehatan bukan hal yang membuat tenaga medis senang, melainkan tantangan serius yang mengganggu alur kerja, meningkatkan risiko medis, dan menambah stres kerja. Dalam sistem pelayanan profesional, setiap kerusakan alat adalah situasi darurat yang harus ditangani cepat

 

Kerugian akibat downtime kerusakan alat medis bisa berdampak serius dan luas, baik dari segi pelayanan kesehatan maupun operasional rumah sakit. Berikut adalah beberapa kerugian utamanya:

1. Dampak terhadap pasien

  • Penundaan diagnosis atau pengobatan
    → Alat seperti CT Scan, MRI, ventilator, atau monitor pasien yang rusak bisa menunda penanganan pasien secara langsung.

  • Risiko keselamatan pasien meningkat
    → Terutama jika alat tersebut krusial dalam penanganan kegawatdaruratan.

  • Menurunnya kepuasan pasien
    → Pasien bisa merasa kecewa, tidak percaya, bahkan memilih pindah ke fasilitas lain.

2. Kerugian operasional & finansial

  • Biaya perbaikan atau penggantian suku cadang

  • Biaya tambahan akibat keterlambatan layanan
    → Seperti pemindahan pasien ke rumah sakit lain, biaya transportasi, atau overtime tenaga medis.

  • Potensi kehilangan pendapatan
    → Jika alat digunakan untuk layanan berbayar (seperti CT Scan atau USG), downtime berarti kehilangan pemasukan.

3. Efek terhadap tenaga medis

  • Produktivitas menurun
    → Tenaga medis harus menunda tindakan, mencari solusi alternatif, atau mengerjakan prosedur secara manual.

  • Stres dan frustrasi
    → Ketika alat penunjang penting tidak tersedia dalam kondisi darurat.

4. Gangguan alur kerja rumah sakit

  • Penumpukan antrean dan penundaan layanan

  • Penjadwalan ulang pasien

  • Kekacauan logistik dan administrasi

5. Implikasi hukum dan reputasi

  • Tuntutan hukum jika kerusakan alat menyebabkan kelalaian medis

  • Citra rumah sakit tercoreng
    → Terutama jika kejadian sering terjadi dan tidak ada solusi sistematis

 

Berikut adalah analisa terjadinya downtime kerusakan alat kesehatan, dilihat dari penyebab, dampak, dan solusi pencegahan secara sistematis:


📊 A. Penyebab Downtime Kerusakan Alat Kesehatan

1. Faktor Teknis

  • Keausan komponen karena pemakaian jangka panjang

  • Kegagalan perangkat lunak (software error)

  • Kerusakan sistem listrik/internal seperti power supply, fuse, atau modul elektronik

  • Kalibrasi yang tidak sesuai atau terlambat

2. Faktor Manusia

  • Kesalahan penggunaan alat oleh operator medis

  • Kurangnya pelatihan pengguna atau teknisi

  • Pengabaian perawatan rutin atau SOP

3. Faktor Manajemen

  • Tidak adanya jadwal preventive maintenance (PM)

  • Keterlambatan dalam perbaikan karena tidak ada kontrak layanan

  • Tidak tersedia suku cadang atau alat pengganti

4. Faktor Lingkungan

  • Suhu dan kelembapan ruangan tidak terkontrol

  • Gangguan daya listrik (tanpa UPS atau stabilizer)

  • Paparan debu atau cairan berbahaya

 

FISHBONE DOWNTIME KERUSAKAN ALAT KESEHATAN 

 


Penjelasan Tiap Kategori:

  1. Manusia (People)

    • Operator atau teknisi kurang pelatihan

    • Salah dalam prosedur penggunaan

    • Tidak mengikuti standar operasional

  2. Mesin (Machine)

    • Komponen internal rusak (sensor, fuse, board)

    • Perangkat lunak (firmware) bermasalah

    • Kalibrasi tidak pernah dilakukan

    • Umur alat sudah melewati masa pakai optimal

  3. Metode (Method)

    • Tidak ada SOP perawatan

    • Tidak ada jadwal preventive maintenance

    • Tidak ada sistem pencatatan kerusakan/riwayat alat

  4. Material (Material)

    • Suku cadang langka atau lama datang

    • Alat ukur tidak dikalibrasi → diagnosis keliru

    • Material habis pakai (sensor, gel, elektroda) tidak tersedia

  5. Lingkungan (Environment)

    • Kelembaban atau suhu ruang tidak sesuai standar

    • Debu, cairan atau kontaminan masuk ke alat

    • Listrik tidak stabil (tanpa UPS)

  6. Manajemen (Management)

    • Tidak ada anggaran rutin untuk pemeliharaan

    • Tidak ada kontrak servis/garansi alat

    • Kurangnya sistem monitoring alat secara menyeluruh

 

Untuk mencegah terjadinya downtime peralatan kesehatan, pendekatan preventive maintenance (perawatan pencegahan) sangat penting. Berikut adalah cara-cara efektif untuk mencegah downtime pada alat kesehatan:

1. Jadwal Preventive Maintenance Berkala

  • Susun jadwal rutin berdasarkan rekomendasi pabrik (OEM).

  • Lakukan pemeriksaan dan kalibrasi secara periodik: harian, mingguan, bulanan, atau tahunan tergantung jenis alat.

  • Contoh: Autoclave → dicek setiap minggu, Ventilator → kalibrasi tiap 6 bulan.

2. Pelatihan Pengguna (User Training)

  • Pastikan tenaga medis dan teknisi terlatih menggunakan alat sesuai SOP.

  • Kesalahan penggunaan adalah salah satu penyebab utama kerusakan alat.

3. Monitoring Kinerja Alat (Asset Monitoring)

  • Gunakan sistem manajemen aset (CMMS) atau log manual untuk mencatat performa dengan sensor otomatis, alarm, dan riwayat kerusakan.

  • Deteksi dini gejala kerusakan sebelum terjadi kegagalan total.

4. Kalibrasi Berkala

  • Lakukan kalibrasi rutin untuk memastikan akurasi alat, terutama alat ukur seperti tensimeter, ventilator, atau EKG.

  • Kalibrasi yang tidak tepat bisa membuat alat tidak bisa dipakai secara legal/medis.

5. Simpan Cadangan Suku Cadang

  • Simpan spare part penting seperti sensor, fuse, atau kabel untuk alat-alat kritikal.

  • Ini mempercepat perbaikan saat terjadi kerusakan minor.

6. Kontrak Layanan (Service Contract)

  • Buat kontrak service dengan vendor atau distributor alat untuk:

    • Perawatan berkala

    • Respon cepat saat kerusakan (SLA)

    • Diskon atau gratis suku cadang

7. Audit dan Evaluasi Berkala

  • Lakukan audit teknis peralatan medis setiap 6 atau 12 bulan.

  • Evaluasi apakah alat masih layak pakai, perlu diperbarui, atau diganti.

8. Kontrol Lingkungan

  • Jaga lingkungan penyimpanan alat:

    • Suhu, kelembapan, dan kebersihan

    • Bebas dari getaran atau debu

  • Banyak alat sensitif terhadap kondisi lingkungan (misalnya inkubator bayi atau centrifuge).

9. Dokumentasi dan Pelaporan

  • Catat semua aktivitas perawatan, kerusakan, dan penggantian suku cadang.

  • Gunakan ini untuk analisis tren kerusakan dan perencanaan penggantian alat.


Pentingnya Menghitung Unit Cost Alat Medis Berteknologi Tinggi untuk mengurangi Resiko Kerugian Pemberian Layanan Alat Canggih

  

Admin ingin membahas tentang sumber kerugian Rumah Sakit karena ketimpangan Tarif Layanan dan Biaya Unit Cost Alat Medis Teknologi Tinggi dan Canggih. Akibatnya, setiap tindakan yang menggunakan alat berteknologi tinggi justru menjadi sumber kerugian, bukan pendapatan.

Di tengah upaya pemerintah memperluas akses pelayanan kesehatan berkualitas melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), muncul satu persoalan yang tak kunjung mendapat perhatian serius: ketimpangan antara tarif layanan yang dibayar oleh BPJS Kesehatan dengan realita biaya investasi dan pemeliharaan alat kesehatan berteknologi tinggi di rumah sakit.

Alat-alat canggih seperti CT Scan, MRI, ventilator, Cathlab, hingga alat laparoskopi bukan hanya simbol kemajuan, tetapi kebutuhan dasar pelayanan medis modern. Namun, hingga kini, struktur tarif layanan (termasuk INA-CBGs) yang dibayarkan kepada rumah sakit nyaris tidak mengakomodasi biaya investasi alat, biaya perawatan berkala, dan kalibrasi. Yang dihitung hanya biaya operasional langsung: tenaga jasa operator dan bahan habis pakai.

Akibatnya, banyak rumah sakit, terutama RSUD terjebak dalam situasi di mana alat mahal dibeli dengan dana pusat atau daerah, tapi tidak mampu dirawat atau dimaksimalkan penggunaannya karena ketiadaan dana untuk pemeliharaan. Rumah sakit tidak siap secara finansial saat alat mengalami kerusakan, butuh pemeliharaan, atau ada part alat yang berkala harus diganti. Ini bukan hanya pemborosan aset negara, tapi bentuk kegagalan sistemik dalam pengelolaan layanan publik.

Lebih lanjut, beban keuangan RS kian berat karena sebagian besar pasien adalah peserta BPJS, yang tarif layanannya bersifat flat dan tidak mempertimbangkan kompleksitas kasus maupun biaya teknologi yang digunakan. RS yang justru menggunakan alat canggih untuk pelayanan yang lebih baik, berisiko mengalami kerugian lebih besar.

Ketidaksesuaian antara biaya riil dan tarif layanan terhadap penggunaan alat medis berteknologi tinggi adalah masalah struktural yang berpotensi merusak fondasi pelayanan kesehatan nasional. Tanpa reformasi pembiayaan yang mencakup biaya investasi dan pemeliharaan alat, ketersediaan pelayanan berkualitas tinggi akan terus menurun, terutama di RSUD. Intervensi kebijakan menyeluruh dan berbasis data menjadi sangat mendesak.

Dalam jangka panjang, ketimpangan ini bisa menimbulkan efek domino:

  • Alat tidak dapat digunakan (idle), menyebabkan antrian panjang atau rujukan keluar daerah.

  • Kualitas layanan menurun.

  • RS terjebak dalam utang dan defisit berulang.

  • Kepercayaan masyarakat terhadap layanan publik melemah.

 

RUMUS UNIT COST  

  Unit Cost  = Biaya Investasi + Biaya Operasional + Biaya Pemeliharaan

 

Biaya Investasi terdiri dari :

  • Nilai depresiasi alat, nilai alat / umur manfaat
  • Nilai depresiasi gedung bangunan  
  • Nilai depresiasi utilitas penunjang sarana (UPS, Mesin Pendingin, dll) 

Biaya Operasional  langsung (Overhead) terdiri dari :

  • Jasa Tenaga Medis (Operator Dokter, Perawat) gaji orang per tindakan
  • Jasa Teknisi Elektromedis yang melakukan pemeliharaan Internal, Daily Maintenance, Pemantauan Internal, Pemeliharaan Internal
  • Biaya Bahan Habis Pakai
  • Biaya Listrik per tindakan pasien, daya alat x waktu tindakan layanan
  • Administrasi, billing, SIMRS, dll 

 Biaya Pemeliharaan terdiri dari :

  • Biaya Kontrak Service Berkala, termasuk part
  • Biaya Penggantian Sparepart Komponen Berkala Pemeliharaan 
  • Biaya General Cek Up, Kalibrasi alat, dan Sertifikasi Tenaga Ahli
  • Biaya Pemeliharaan Utilitas Pendukung, misal UPS penggantian battery dan pemeliharaan mesin pendingin

Dengan penghitungan Unit Cost yang akurat, manajemen rumah sakit dapat mengetahui secara jelas margin keuntungan atau kerugian dari setiap layanan, termasuk layanan yang menggunakan alat medis berteknologi tinggi seperti CT-Scan, MRI, ventilator ICU, USG Echo, USG 4D, Cathlab dan lainnya.

Unit cost adalah alat kontrol manajerial yang vital untuk mengukur margin keuntungan atau kerugian pada layanan alat medis teknologi tinggi. Tanpa data unit cost, rumah sakit seperti berjalan dengan mata tertutup terhadap risiko finansialnya sendiri.

 

Manfaat Penghitungan Unit Cost dalam Analisis Tarif Layanan Alat Medis Teknologi Tinggi

1. Mengetahui Struktur Biaya Riil (Real Cost per Unit)

Penghitungan unit cost memungkinkan rumah sakit untuk:

  • Mengidentifikasi seluruh komponen biaya yang terlibat dalam suatu tindakan medis.

  • Memisahkan biaya tetap (fixed) dan biaya variabel (variable) per layanan.

  • Menghitung cost per use atas alat mahal melalui depresiasi dan pemeliharaan.

Contoh:
Jika 1 tindakan CT-Scan membutuhkan biaya Rp 1.200.000 secara riil (berdasarkan template sebelumnya), dan tarif BPJS hanya membayar Rp 900.000, maka RS rugi Rp 300.000 per tindakan.

2. Menghitung Margin Untung/Rugi

Dengan mengetahui unit cost dan tarif yang diterapkan, RS dapat menghitung, RS bisa mengevaluasi,  Layanan mana yang untung, mana yang subsidi silang, dan mana yang perlu ditinjau ulang.

3. Alat Pengambilan Keputusan Strategis

Dengan unit cost, manajemen dapat:

  • Menyesuaikan tarif layanan umum (non-BPJS) secara rasional.

  • Menentukan prioritas investasi alat baru berdasarkan potensi cost recovery.

  • Menyusun proposal top-up tarif ke pemerintah daerah untuk layanan merugi.

  • Menyusun strategi subsidi silang antar layanan.

4. Advokasi Tarif ke BPJS atau Pemerintah

Jika RS memiliki data unit cost yang terstruktur dan terdokumentasi, data ini bisa digunakan untuk:

  • Mengajukan revisi tarif INA-CBGs ke BPJS Kesehatan.

  • Meminta dukungan dana APBD/APBN untuk menutup biaya pemeliharaan alat.

  • Mendorong revisi kebijakan tarif layanan teknologi tinggi di RS pemerintah.

5. Transparansi & Akuntabilitas

  • Menunjukkan ke pemangku kebijakan (Dinkes, DPRD, BPJS) bahwa kerugian layanan bukan akibat inefisiensi, tapi karena tarif tidak mencerminkan real cost.

  • Memperkuat posisi RS dalam audit BPK, KARS, maupun perencanaan strategis 5 tahunan

 

Fenomena Ditemui Munculnya Beberapa Rumah Sakit Terancam Bangkrut, Efisiensi dan Terlilit Hutang Milliaran, Dampak Penghentian Pelayanan ke Masyarakat

 

Fenomena munculnya berita Rumah Sakit Pemerintah (RSUD) maupun Rumah Sakit Swasta yang terancam bangkrut dan terlilit utang Milliaran memang menjadi isu serius dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Beberapa faktor penyebabnya, terkait erat dengan kebijakan klaim BPJS Kesehatan serta ketidaksesuaian antara biaya operasional  terutama untuk unit cost alat medis teknologi tinggi dengan tarif layanan yang ditetapkan pemerintah. Fenomena tersebut baru yang tersorot media, belum yang tidak tersorot media pasti banyak, tidak menutup kemungkinan Rumah Sakit Vertikal juga ada.

Berikut ini penjelasan lebih detail mengenai permasalahannya :

1. Aturan Klaim BPJS Kesehatan

  • Tarif INA-CBGs (Indonesia Case-Based Groups) yang digunakan oleh BPJS bersifat paket dan tetap, tidak selalu mencerminkan real cost dari pelayanan yang diberikan, terutama di kasus kompleks.

  • Rumah sakit harus menanggung selisih biaya ketika biaya riil pelayanan lebih tinggi daripada tarif klaim.

  • Proses verifikasi klaim yang lama juga menyebabkan keterlambatan pembayaran dari BPJS kepada rumah sakit, sehingga menumpuk utang operasional, termasuk ke supplier alat dan obat-obatan.

2. Ketimpangan Tarif dan Biaya Unit Cost

  • Layanan dengan teknologi tinggi (seperti CT scan, MRI, cath lab, ventilator canggih) memiliki unit cost mahal (biaya pemeliharaan, SDM terampil, pelatihan, kalibrasi, dll).Namun, tarif layanan yang ditetapkan dalam sistem klaim tidak memperhitungkan faktor biaya riil alat-alat ini secara proporsional.

  • Akibatnya, setiap tindakan yang menggunakan alat berteknologi tinggi justru menjadi sumber kerugian, bukan pendapatan.

3. Efeknya bagi RSUD

  • Kas rumah sakit terganggu, sehingga tidak bisa membayar gaji, membeli obat, atau merawat alat medis dengan baik.

  • Kinerja rumah sakit turun, kualitas pelayanan terpengaruh.

  • Terancam gagal bayar (default), yang dalam jangka panjang bisa memaksa RS menghentikan sebagian layanan atau tutup.

Solusi yang Dapat Dipertimbangkan:

  1. Revisi tarif INA-CBGs agar lebih realistis dan berbasis pada perhitungan cost-effectiveness yang akurat.

  2. Skema subsidi silang internal BPJS, di mana layanan berteknologi tinggi mendapat kompensasi dari layanan lain.

  3. Pemerintah daerah perlu memberikan dana talangan operasional sementara untuk RSUD yang merugi.

  4. Peningkatan efisiensi RS, melalui audit internal dan strategi manajemen berbasis kinerja.

  5. Evaluasi dan reformasi sistem rujukan serta pemanfaatan alat teknologi secara rasional.

 

Penyebab Gagal Klaim Rumah Sakit ke BPJS

1. Dokumen Klaim Tidak Lengkap atau Tidak Sesuai

  • Dokumen medis, resume pasien, hasil penunjang, atau formulir administrasi tidak lengkap.

  • Ketidaksesuaian diagnosis ICD-10 dan prosedur ICD-9-CM antara rekam medis dan berkas klaim.

  • Kode INA-CBG yang diklaim tidak sesuai dengan berkas medis yang disiapkan.

2. Kesalahan Entry Data pada Aplikasi Klaim (e-Claim BPJS)

  • Salah input data identitas pasien, tanggal pelayanan, atau tindakan medis.

  • Kode diagnosis atau prosedur tidak sesuai standar.

  • Gagal mengunggah file digital rekam medis atau bukti pendukung klaim.

3. Pelayanan Tidak Sesuai dengan Prosedur dan Panduan Klinis

  • Tidak sesuai dengan Panduan Praktik Klinis (PPK) atau formulir SEP (Surat Eligibilitas Peserta).

  • Tindakan dilakukan tanpa indikasi medis jelas menurut standar BPJS.

  • Adanya overutilisasi atau tindakan medis tidak sesuai kebutuhan.

4. Tidak Ada SEP atau SEP Kadaluarsa

  • SEP (Surat Eligibilitas Peserta) belum diterbitkan atau diterbitkan setelah pasien dirawat.

  • SEP melewati batas waktu pengajuan (biasanya 3 x 24 jam untuk kasus emergensi rawat inap).

5. Klaim Duplikat atau Sudah Pernah Dibayar

  • Sistem mendeteksi bahwa klaim untuk pasien tersebut sudah pernah dibayarkan.

  • Bisa karena kesalahan sistem atau duplikasi data pasien.

6. Pasien Tidak Aktif sebagai Peserta BPJS

  • Saat pelayanan dilakukan, status peserta BPJS sudah non-aktif, menunggak iuran, atau tidak terdaftar.

  • RS tidak melakukan verifikasi kepesertaan dengan benar melalui sistem BPJS.

7. Kode INA-CBG Tidak Sesuai atau Tidak Terbaca

  • Kode klaim INA-CBG tidak cocok dengan diagnosis utama atau tindakan utama.

  • Kesalahan memilih severity level, menyebabkan klaim ditolak atau dibayar lebih rendah.

8. Melewati Batas Waktu Pengajuan Klaim

  • BPJS menetapkan deadline maksimal 2 bulan setelah pasien keluar untuk mengajukan klaim.

  • Jika RS terlambat mengajukan, klaim bisa otomatis ditolak.

Dampak Gagal Klaim

  • Rumah sakit tidak menerima pembayaran atas pelayanan yang sudah diberikan.

  • Mengakibatkan kerugian finansial, terutama jika kasusnya banyak dan bernilai besar.

  • Menurunkan performa keuangan dan akreditasi RS, terutama RSUD yang bergantung pada pembayaran BPJS.

Apa Perbedaan Teknik Elektromedik dan Teknik Biomedik ?

 

Masih sering ditanyakan masyarakat awam, ataupun para calon Mahasiswa yang sedang mencari kampus untuk kuliah. Berikut penjelasannya : 

1. Teknik Elektromedik

Tenaga kesehatan untuk mengoperasikan, memelihara, memperbaiki, dan memastikan keamanan alat kesehatan elektromedis, serta melakukan kalibrasi sesuai dengan standar teknis dan regulasi yang berlaku. 

Kompetensi Utama:

  • Mampu mengoperasikan, memelihara, memperbaiki, dan mengkalibrasi peralatan medis elektronik. Perawatan rutin dan troubleshooting alat kesehatan (ventilator, EKG, defibrillator, dll).

  • Memahami regulasi dan standar alat kesehatan (misalnya Permenkes, ISO, IEC).

  • Terampil dalam dokumentasi teknis, audit, dan pengelolaan peralatan medis.Dokumentasi teknis dan manajemen alat kesehatan di fasilitas layanan kesehatan.

  • Siap bekerja langsung di lapangan, terutama di rumah sakit dan klinik.

  • Instalasi dan konfigurasi alat medis elektronik

Jabatan atau Pekerjaan Umum:

  • Teknisi Elektromedik

  • Staff BMEC (Biomedical Engineering Center) di rumah sakit

  • Teknisi alat medis di distributor atau perusahaan alat kesehatan

  • Staff instalasi dan servis teknis alat kesehatan

  • Teknisi kalibrasi di laboratorium Uji Alkes

Tempat Kerja:

  • Rumah sakit pemerintah/swasta

  • Klinik, laboratorium kesehatan

  • Dinas Kesehatan

  • Perusahaan distributor/agen alat kesehatan

  • Lembaga uji atau sertifikasi alat kesehatan

2. Teknik Biomedik

Kompetensi teknik biomedik adalah kemampuan akademik dan profesional untuk merancang, mengembangkan, menganalisis, dan mengintegrasikan teknologi yang mendukung sistem kesehatan, dengan pendekatan interdisipliner antara teknik, biologi, dan kedokteran. 

Kompetensi Utama:

  •  Mampu merancang, menganalisis, dan mengembangkan teknologi kesehatan.

  • Menguasai prinsip rekayasa dan biologi, seperti sinyal biomedis, biomekanika, biomaterial, dan instrumentasi medis.

  • Mampu melakukan penelitian dan inovasi di bidang teknologi medis.

  • Desain dan inovasi alat kesehatan (dari prototipe hingga produk jadi).Pemodelan dan analisis sistem biologis menggunakan software teknik (MATLAB, Python, CAD, Simulink, dll).

  • Pengolahan sinyal dan citra medis.
  • Pengembangan biomaterial dan biomekanika.

  • Penguasaan sistem cerdas dan AI untuk aplikasi medis (misalnya: diagnostic support system)
  • Penelitian interdisipliner di bidang teknologi medis.

Jabatan atau Pekerjaan Umum:

  • Biomedical Engineer (R&D)

  • Desainer alat medis

  • Data analyst bidang kesehatan

  • Konsultan teknologi medis

  • Peneliti biomedis

  • Dosen atau akademisi (dengan pendidikan lanjut)

  • Pengembang software medis (misalnya AI untuk diagnosis)

Tempat Kerja:

  • Perusahaan pengembang alat kesehatan (lokal/internasional)

  • Startup teknologi medis atau wearable health tech

  • Rumah sakit (khusus bagian rekayasa atau inovasi)

  • Lembaga penelitian atau universitas

  • Industri farmasi dan bioteknologi

  • Pemerintahan (BPOM, Kemenkes, dll)

     


    Kesimpulan:

  • Kompetensi Elektromedik = teknis, praktis, lapangan → siap kerja di rumah sakit & klinik.

  • Kompetensi Teknik Biomedik = rekayasa, teoritis, kreatif → cocok untuk riset, inovasi, dan pengembangan teknologi medis.

Perubahan itu bikin tidak nyaman, strategi dan sikap Elektromedik ATEM untuk menghadapi perubahan

 


Perubahan itu seringkali menimbulkan ketidaknyamanan, dan profesi teknisi elektromedis berada di salah satu posisi yang paling terdampak oleh dinamika perubahan teknologi, regulasi, dan sistem layanan kesehatan.

Mengapa Perubahan Membuat Tidak Nyaman?

  • Manusia cenderung menyukai zona nyaman – rutinitas memberi rasa aman.

  • Perubahan memunculkan ketidakpastian – apakah bisa beradaptasi? Apakah akan gagal?

  • Ketakutan akan ketidaktahuan – teknologi baru = butuh belajar ulang.

  • Perubahan bisa mengganggu pola kerja tim – peran bisa bergeser

     

     

Pekerjaan Profesi Elektromedis & Tantangan Perubahan

1.  Perubahan Teknologi Alat Kesehatan

  • Teknologi medis terus berkembang: AI di imaging, digitalisasi, IoMT (Internet of Medical Things).

  • Elektromedis harus terus belajar dan upskilling – dari analog ke digital, dari standalone ke sistem terintegrasi.

2. Perubahan Regulasi dan Akreditasi

  • Standar kalibrasi, manajemen risiko, SISMADAK, SIMRS, dan ISO 13485 semakin ketat.

  • Elektromedis dituntut untuk tidak hanya teknis, tapi juga administratif & dokumentatif.

3. Perubahan Lingkungan Kerja dan Budaya Layanan

  • Dulu bekerja di balik layar, kini elektromedis dituntut mampu berkomunikasi dengan klinisi, manajemen, bahkan pasien.

  • Kerja tidak lagi individual, tetapi berbasis tim dan multidisiplin.

4. Perubahan Sistem Rumah Sakit

  • Implementasi sistem digital, manajemen aset terintegrasi, IoT monitoring → mengubah pola kerja harian elektromedis.

  • Banyak alat kini dapat dikendalikan jarak jauh, tapi juga berarti harus paham IT, jaringan, dan sistem informasi.

     

     

Sangat mendalam dan penting untuk membangun mentalitas profesional elektromedis yang tangguh. Kita akan mengaitkan sikap dan karakter personal teknisi elektromedis dalam menghadapi perubahan,

Karakter elektromedis yang matang bukan yang langsung menerima perubahan, tapi yang mampu berjalan melewati proses psikologisnya secara utuh dan sadar.

Sikap kunci:

  • Kesabaran

  • Rendah hati untuk belajar

  • Ketekunan

  • Dukungan dari rekan & organisasi

 

Karakter yang muncul dalam menghadapi perubahan :

1. Denial (Penyangkalan)

"Gak mungkin sistem ini dipakai terus."
"Ah, pelatihan ini cuma buang waktu."

Sikap karakter yang muncul:

  • Menghindar

  • Skeptis

  • Meremehkan urgensi

Risiko: Tidak ikut pelatihan, tidak update pengetahuan → tertinggal.
Antidote: Dorong dengan edukasi, contoh nyata, dan peer influence.

2. Anger (Kemarahan)

"Kenapa sih harus berubah semua?"
"Manajemen gak mikirin kita di lapangan!"

Sikap karakter yang muncul:

  • Defensif

  • Menyalahkan sistem atau pimpinan

  • Cenderung membandingkan dengan masa lalu

Risiko: Relasi tim jadi renggang. Penolakan makin kuat.
Antidote: Ruang dialog terbuka. Validasi emosi tapi arahkan solusi.

3. Bargaining (Tawar-menawar)

"Bisa gak kita tetap pakai cara lama tapi tambah sedikit sistem baru?"
"Kalau saya ikut pelatihan, saya masih boleh pakai metode lama juga kan?"

Sikap karakter yang muncul:

  • Masih setengah hati

  • Cari kompromi

  • Butuh waktu menyesuaikan

Risiko: Perubahan hanya separuh jalan.
Antidote: Libatkan dalam peran transisi, beri waktu untuk membangun kepercayaan terhadap sistem baru.

4. Depression (Frustrasi / Menyerah)

"Saya gak bisa ikuti ini semua..."
"Ternyata saya gak sekeren anak baru yang jago IT..."

Sikap karakter yang muncul:

  • Rasa tidak mampu

  • Menarik diri dari tim

  • Merasa tertinggal, minder

Risiko: Burnout, drop performa, bahkan resign.
Antidote: Bina, mentoring, beri semangat dan penguatan peran (apresiasi pengalaman, bukan hanya skill baru).

5. Acceptance (Penerimaan)

"Oke, saya mulai pelajari pelan-pelan."
"Ini memang tantangan, tapi saya bisa adaptasi."

Sikap karakter yang muncul:

  • Terbuka

  • Inisiatif belajar

  • Mau kolaborasi dengan gaya baru

Dampak positif: Mulai tumbuh jadi role model dalam tim, ikut mendorong rekan lain beradaptasi juga.

Setiap karakter punya potensi berubah mengikuti tahapan ini, tapi kecepatannya bisa beda-beda.
Yang penting adalah:

  • Mengenali diri sendiri sedang di tahap mana,

  • Menumbuhkan kesadaran bahwa perubahan adalah bagian dari profesionalisme.

Elektromedis hebat bukan yang paling tahu alatnya hari ini, tapi yang paling siap menghadapi alat dan sistem di masa depan. Perubahan memang bikin tidak nyaman, tapi dalam profesi elektromedis, kenyamanan itu justru tanda bahwa kita tidak berkembang.

“Bukan yang paling kuat yang bertahan, tapi yang paling mampu beradaptasi.” – Charles Darwin 

Artikel Rekomendasi

Bagaimana untuk Mengelola "How To Manage" Series untuk Teknologi Kesehatan

WHO Teknologi kesehatan dan manajemen teknologi kesehatan telah menjadi isu kebijakan yang semakin terlihat. Sementara kebutuh...

Popular Post

Recomended

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner